News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Virus Corona

New Normal, Mungkinkah Terwujud?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sumaryoto Padmodiningrat.

Oleh: Dr Sumaryoto Padmodiningrat MM

TRIBUNNEWS.COM - "If you can't beat them, join them."

Presiden Joko Widodo mungkin terinspirasi pepatah Barat ini saat mengajak rakyatnya berdamai dengan Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang kini sedang melanda Indonesia dan dunia.

Jika Anda tidak dapat mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka. Artinya, jika seseorang terlalu kuat untuk Anda kalahkan, lebih baik Anda berada di sisi yang sama dengan mereka. Itulah maksud pepatah tersebut.

Sontak, apa yang disampaikan Presiden Jokowi itu, sebagaimana galibnya, menuai pro-kontra.

Bagi yang pro, ungkapan itu selaras dengan pepatah di atas, karena Covid-19 terlalu kuat untuk dikalahkan.

Terbukti hampir seluruh negara di dunia terjamah virus corona, tak terkecuali Amerika dan Rusia yang katanya negara adi daya (super power).

Bahkan Amerika tercatat sebagai negara dengan jumlah kematian tertinggi di dunia akibat corona.

Bagi yang kontra, ungkapan itu merupakan bentuk dari kekalahan dan penyerahan diri tanpa syarat pemerintah terhadap corona. Indonesia bertekuk lutut menghadapi corona.

Pro-kontra belum mereda, muncul pro-kontra baru, lagi-lagi dari Presiden Jokowi. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menyebut Indonesia akan segera memasuki era baru (new era), yakni "new normal".

Lalu, apa dan seperti apa "new normal" itu? Menurut Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmita, "new normal" adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal, namun ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.

Prinsip utama dari "new normal" adalah dapat menyesuaikan diri dengan pola hidup baru, yakni memakai masker, rajin mencuci tangan, menjaga jarak (physical and social distancing) dengan bersekolah dan bekerja dari rumah, dan menghindari kerumunan.

Di Jepang, "new normal" tersebut disebut menghindari "3C", yakni "closed space" (ruang tertutup), "crowded place" (ruang ramai), dan "close contact" (kontak jarak dekat).

Masyarakat akan menjalani kehidupan secara "new normal" ini hingga ditemukannya vaksin dan dapat digunakan sebagai penangkal Covid-19.

Beberapa pakar kesehatan dunia telah memastikan paling cepat dapat ditemukannya vaksin adalah pada 2021.

Artinya, masyarakat harus menjalani kehidupan secara "new normal" hingga tahun depan, bahkan mungkin lebih.

Konsep pola hidup normal baru ini merupakan salah satu yang ditekankan oleh World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia.

Selasa (26/5/2020), Presiden Jokowi mengecek kesiapan penerapan "new normal" untuk empat provinsi dan 25 kabupaten/kota, di Kota Bekasi, Jawa Barat.

Ia pun menegaskan tujuan "new normal", yakni tetap produktif tapi aman dari Covid-19.

Sontak, konsepsi "new normal" ini, sebagaimana galibnya, mendapat tentangan keras dari Amien Rais. Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI dan mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang sedang bersiap mendeklarasikan partai baru ini berpendapat tak mungkin "new normal" tersebut diterapkan di Indonesia.

Amien Rais meminta pemerintah tidak menggunakan istilah "new normal" untuk menggambarkan kondisi yang tidak normal. Angka pengangguran yang tinggi dan utang yang terus bertambah, menurutnya, tak bisa disebut "new normal".

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini bahkan meramalkan akan terjadi bencana mengerikan di dunia pada pertengahan abad ke-21.

Benarkah ramalan ini? Namanya juga ramalan, boleh benar boleh tidak. Jangankan ramalan bencana, ramalan cuaca saja yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang sifatnya ilmiah bisa meleset.

Untuk mengimplementasikan konsep "new normal", Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/Menkes/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Tempat Kerja, Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi, yang meliputi lima poin, yakni hindari transportasi umum, hindari menyentuh fasilitas yang dipakai bersama, bersih-bersih saat sampai rumah, konsumsi gizi seimbang, dan penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, gangguan paru dan gangguan ginjal terkontrol.

Akankah "new normal" ini terwujud? Kita tidak tahu pasti. Tapi bila melihat fakta lonjakan kasus Covid-19 di hari-hari terakhir Ramadan kemarin, kita pesimistis.

Lonjakan yang mencapai angka hampir 1.000 kasus per hari tersebut dipicu oleh masifnya pelanggaran aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat banyaknya masyarakat berburu kebutuhan Lebaran.

Implikasinya, Indonesia di-lockdown" sejumlah negara. Warga negara Indonesia untuk sementara tak boleh masuk ke negara-negara tersebut, yakni Singapura, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Australia dan Selandia Baru.

Di pihak lain, pemerintah tidak konsisten dalam membuat dan menegakkan aturan. Misalnya, melarang mudik tapi mengizinkan moda transportasi umum seperti bus, kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang beroperasi, kendati secara terbatas.

Pun, menutup tempat-tempat ibadah, bahkan menganjurkan agar salat Ied digelar di rumah, tapi membiarkan pasar-pasar, baik tradisional maupun modern, tetap buka.

Padahal, konsistensi dan ketegasan dalam membuat dan menegakkan aturan merupakan faktor utama ditaatinya aturan tersebut.

Lihat saja, ketika orang Indonesia yang dikenal kurang disiplin memasuki Singapura, di sana WNI tersebut menjadi disiplin, taat dengan aturan setempat.

Sebaliknya, orang Singapura yang masuk ke Jakarta, kendati di negerinya sendiri ia disiplin, tapi di Jakarta ia membuang puntung rokok sembarangan, misalnya.

Dengan kata lain, bila "new normal" mau berhasil, tak bisa lain kecuali pemerintah harus tegas dan konsisten dalam membuat dan menegakkan aturan.

Di pihak lain, masyarakat harus patuh dengan aturan pemerintah, dengan melaksanakan pola hidup baru sesuai protokol kesehatan, seperti bangsa Jepang menghindari "3C" yang sudah terbukti berhasil.

Seperti pepatah di atas, kita memang sudah saatnya berdamai dan hidup berdampingan dengan Covid-19 yang masih belum bisa kita kalahkan entah sampai kapan.

* Dr Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini