Kado Ultah ke-67 Cak Nun, Sunan Kalijaga Era Milenial
Oleh KH. Imam Jazuli Lc., MA*
TRIBUNNEWS.COM - Terlepas dari beberapa pernyataannya yang kontroversial, kehidupan Muhammad Ainun Najib atau yang lebih akrab dipanggil Emha atau Cak Nun layak dijadikan inspirasi banyak orang, terutama kalangan milenial.
Kecintaannya pada budaya membuatnya tidak pernah sedikitpun berpaling dari dunia yang melambungkan namanya tersebut.
Bahkan hingga di usianya yang hari ini genap 67 tahun (Lahir di Jombang, 27 Mei 1953), Cak Nun masih setia untuk tetap melestarikan budaya negeri dalam setiap kesempatan. Bahkan tak sedikit, karyanya adalah simbol kebudayaan dan kebersilaman di Nusantara.
Baginya kebudayaan dan keislaman adalah satu tarikan nafas, tak bisa dipisahkan satu sama lain. Islam butuh kebudayaan sebagai khazanah, dan budaya butuh islam untuk memberi nilai yang lebih.
Lewat karya-karyanya, Cak Nun mencoba menyampaikan banyak hal terkait isue-isue sosial, politik, ekonomi dan keagamaan yang ada di sekitarnya.
Ia menyampaikan gagasan pemikiran dan kritik-kritiknya dalam berbagai bentuk: puisi, esai, cerpen, film, drama/teater, lagu, musik, talkshow televisi, siaran radio, seminar, ceramah, pidato kebudayaan, tayangan video, bahkan karikatur atau lukisan.
Ia menggunakan beragam media komunikasi dari cetak hingga digital dan sangat produktif dalam berkarya.
Ciri dari semua karyanya itu bersifat kontemplatif, relegius dan humoris dengan sentilan- sentilan belingnya. Penulis kira di Indonesia nyaris tidak ada budayawan yang sekomplit Cak Nun.
Pada akhir tahun 1969 ketika masih SMA, Cak Nun memulai proses kreatifnya dengan menjalani hidup “tirakat” di Malioboro, Yogyakarta selama lima tahun hingga 1975.
Ia menggelandang dan menjadi seniman bohiman. Kala itu, Malioboro masih menjadi tempat yang asyik bertemunya para aktivis mahasiswa, sastrawan, dan seniman Yogyakarta.
Malioboro juga menjadi salah satu poros dalam jalur Bulaksumur-Malioboro-Gampingan yang menandakan dialektika intelektual-sastra-seni rupa.
Di Malioboro ini, Cak Nun, bersama Ebied G Ade, Teguh Karya, Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan dan lainnya bergabung dengan PSK (Persada Studi Klub), sebuah ruang studi sastra bagi penyair muda Yogyakarta yang diasuh oleh penyair misterius Umbu Landu Paranggi.