Puisi itu—yang ditulisnya secara spontan—lantas ia bacakan dalam banyak forum kebudayaan, yang paling monumental adalah forum “Ramadhan on Campus” yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM pada Mei 1987.
Ia naik panggung usai penyair senior Taufiq Ismail. Tak dinyana, "Lautan Jilbab" mendapat respon yang meriah dari sekitar 6.000 orang yang hadir.
Besoknya ia pun terpaksa berhadapan dengan aparat pemerintah. Tetapi sejak itu pemakaian jilbab punya arti perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru.
Puisi "Lautan Jilbab" dijadikan demo hampir seluruh kampus Islam di Indonesia. Puisi-puisi itu kemudian diperbaruinya dan diterbitkan dalam sebuah antologi Syair Lautan Jilbab pada 1989.
Keberanian Cak Nun tak sia-sia. Karena hampir tiap hari ada demo mahasiswa. Akhirnya, larangan berjilbab bagi siswi sekolah negeri dan mahasiswi kampus negeri resmi dicabut pada 1991, tapi protes Cak Nun tak surut.
Selang setahun setelah itu ia kembali memanggungkan lakon protes bertajuk Perahu Retak. Rezim Soeharto lagi-lagi jadi sasarannya.
Perahu Retak bercerita tentang kelaparan rakyat dimana-mana dan kesenjangan ekonomi yang teramat dalam, juga konflik-konflik antara rakyat dan penguasa di era akhir kerajaan Pajang hingga berdirinya Mataram.
Perahu Retak adalah karya teater, antologi puisi dan nyanyian balada yang sering ditampilkan Cak Nun diforum-forum kebudayaan.
Sebab era itu bagi Cak Nun adalah tamsil yang cocok bagi Orde Baru yang feodal dan hiprokit. Suatu era saat kerajaan Jawa kehilangan karakter egaliter dan demokratisnya dan berubah jadi feodal, tertutup, dan represif laiknya Orde Baru.
Ia tampil ke permukaan, disaat hampir semuanya tak berdaya dan ia mampu menjadi representasi rakyat kecil yang ditindas hak-haknya oleh hegemoni pembangunan Orde.
Di Teater Dinasti, Cak Nun berkolaborasi dengan Gajah Abiyoso, Fajar Suharno, Simon Hate, Joko Kamto, dan Agus Istiyanto, yang sangat produktif melahirkan ide-ide belingnya untuk protes pada pemerintah, dan ia tampilkan dalam karya teaternya, seperti Keajaiban Lik Par (1980), Mas Dukun (1982), Geger Wong Ngoyak Macan (1989), dan Patung Kekasih (1989).
Seakan tak pernah puas, pada November 1993, Cak Nun kembali memanggungkan lakon protesnya. Lakon bertajuk Pak Kanjeng itu memotret perlawanan Pak Jenggot menolak pembangunan waduk Kedungombo, Boyolali, Jawa Tengah.
Bagi Cak Nun sat itu, Pak Kanjeng bukan terutama sebuah pertunjukan. Melainkan sebuah laboratorium budaya, Laboratorium Pak Kanjeng yang kemudian dalam pementasan-pementasan selanjutnya menjadi Komunitas Pak Kanjeng (KPK).
Komunitas ini pada akhirnya mengalami perubahan format, bermetamorfosa menjadi Gamelan Kiai Kanjeng.