News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Kado Ultah ke-67 Cak Nun, Sunan Kalijaga Era Milenial

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ribuan warga Semarang, Jawa Tengah, dan Jamaah Maiyah tumpah ruah memadati Klenteng Sam Poo Kong dalam acara ''Sinau Bareng Cak Nun, Kiai Kanjeng bersama Polda Jateng, Sam Poo Kong, dan Tribun Jateng'' yang belangsung Kamis (18/4/2019) lalu. Rabu 27 Mei 2020 hari ini, Cak Nun merayakan hari ulang tahun yang ke-67. Tribun Jateng/Hermawan Handaka

Puisi itu—yang ditulisnya secara spontan—lantas ia bacakan dalam banyak forum kebudayaan, yang paling monumental adalah  forum “Ramadhan on Campus” yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM pada Mei 1987.

Ia naik panggung usai penyair  senior Taufiq Ismail. Tak dinyana, "Lautan Jilbab" mendapat respon yang meriah dari sekitar 6.000 orang yang hadir. 

Besoknya ia pun terpaksa berhadapan dengan aparat pemerintah. Tetapi sejak itu pemakaian jilbab punya arti perlawanan  terhadap otoritarianisme Orde Baru.

Puisi "Lautan Jilbab" dijadikan demo hampir seluruh kampus Islam di Indonesia.  Puisi-puisi itu kemudian diperbaruinya dan diterbitkan dalam sebuah antologi Syair Lautan Jilbab pada 1989.

Keberanian Cak Nun tak sia-sia. Karena hampir tiap hari ada demo mahasiswa. Akhirnya, larangan berjilbab bagi siswi  sekolah negeri dan mahasiswi kampus negeri resmi dicabut pada 1991, tapi protes Cak Nun tak surut.

Selang setahun  setelah itu ia kembali memanggungkan lakon protes bertajuk Perahu Retak. Rezim Soeharto lagi-lagi jadi sasarannya. 

Perahu Retak bercerita tentang kelaparan rakyat dimana-mana dan kesenjangan ekonomi yang teramat dalam, juga konflik-konflik antara rakyat dan penguasa di era akhir kerajaan Pajang hingga berdirinya Mataram. 

Perahu Retak adalah karya teater, antologi puisi dan nyanyian balada yang sering ditampilkan Cak Nun diforum-forum  kebudayaan.

Sebab era itu bagi Cak Nun adalah tamsil yang cocok bagi Orde Baru yang feodal dan hiprokit. Suatu era saat  kerajaan Jawa kehilangan karakter egaliter dan demokratisnya dan berubah jadi feodal, tertutup, dan represif laiknya Orde Baru.

Ia tampil ke permukaan, disaat hampir semuanya tak berdaya dan ia mampu menjadi representasi rakyat kecil  yang ditindas hak-haknya oleh hegemoni pembangunan Orde. 

Di Teater Dinasti, Cak Nun berkolaborasi dengan Gajah Abiyoso, Fajar Suharno, Simon Hate, Joko Kamto, dan Agus  Istiyanto, yang sangat produktif melahirkan ide-ide belingnya untuk protes pada pemerintah, dan ia tampilkan dalam karya  teaternya, seperti Keajaiban Lik Par (1980), Mas Dukun (1982), Geger Wong Ngoyak Macan (1989), dan Patung Kekasih  (1989).

Seakan tak pernah puas, pada November 1993, Cak Nun kembali memanggungkan lakon protesnya. Lakon bertajuk Pak  Kanjeng itu memotret perlawanan Pak Jenggot menolak pembangunan waduk Kedungombo, Boyolali, Jawa Tengah.

Bagi Cak Nun  sat itu, Pak Kanjeng bukan terutama sebuah pertunjukan. Melainkan sebuah laboratorium budaya, Laboratorium Pak Kanjeng  yang kemudian dalam pementasan-pementasan selanjutnya menjadi Komunitas Pak Kanjeng (KPK).

Komunitas ini pada akhirnya  mengalami perubahan format, bermetamorfosa menjadi Gamelan Kiai Kanjeng. 

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini