Kelompok Kiai Kanjeng ini kemudian dibawah Cak Nun untuk bershalawat mengiringi pengajian Padhangmbulan (1994) yang ia adakan setiap pertengahan bulan Hijriah, dan hari kelahiran Cak Nun adalah 15 Ramadlan ketika bulan purnama.
Album pertama Kiai Kanjeng bertajuk Kado Muhammad rilis pada 1995 dengan hits andalan "Tombo Ati" sempat meledak.
Fenomena ini kemudian berbuntut pada pengajian Padhangmbulan yang menjadi magnet berkumpulnya ribuan orang di tengah pengawasan rezim Orde Baru saat itu, Cak Nun mengatakan bahwa yang penting fungsinya harus jelas.
Fungsi pertama adalah melalui tafsir Al-Qur`an, Padhangmbulan mencoba merefleksikan penyikapan-penyikapan terhadap masalah-masalah sosial yang akhirnya diharapkan terjadi pembenahan cara berpikir bersama melalui pembelajaran Al-Qur`an.
Fungsi kedua adalah pemberdayaan. Ada konsep-konsep yang dicari bersama sebagai alternatif terbaru dalam memberdayakan umat.
Dari pengajian Padhangmbulan, lahirlah Majelis Maiyah tahun 2001. Secara etimologis, Maiyah berasal dari kata ma’a, bahasa Arab yang artinya bersama.
Dan arti Maiyah sendiri adalah kebersamaan. Kebersamaan dibangun dengan berpijak pada kebersamaan Segitiga Cinta. Yaitu segitiga antara Allah, Rasulullah, dan makhluk. Inspirasi konsep kebersamaan ini diambil dari Al-Qur`an yang dikaji oleh Marja’ (rujukan keilmuan) Maiyah: Ahmad Fuad Effendy.
Bahwa kata ma’a dalam Al-Qur`an disebutkan sebanyak 161 kali yang berada dalam relasi atau kebersamaan antara Allah, Rasulullah, dan semua makhluk-Nya.(Effendy, 2009).
Dari Maiyah, kemudian lahir konsep Sinau Bareng yang yang berangkat dari kultur berdaya bersama ini, selanjutnya bisa diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan.
Tidak harus berupa pengajian dalam skala besar, yang terpenting inti konsepnya membangun kecerdasan bersama, bisa diaplikasikan.
Seperti yang digunakan dalam aplikasi bersistem operasi Android bernama Opinium. Sebuah aplikasi berbasis komunitas yang menyediakan alternatif kurasi informasi.
Kurasi ini dibangun dari diskusi untuk menguji bersama keabsahan sebuah informasi, demi menghindari hoaks.
Salah satu fitur utama dalam aplikasi Opinium adalah Sinau Bareng. Melalui fitur ini, setiap pengguna dapat membangun reputasi dan kredibilitas mereka melalui interaksi silang berbagai bidang studi. Termasuk gotong royong dalam pemberdayaan ekonomi.
Dari konsep Sinau Bareng ini kemudian lahir 3M (Majelis Masyarakat Maiyah). Majelis ini tersebar di berbagai daerah, bahkan sampai luar Jawa.
Mereka berupaya melingkar setiap bulan, untuk istiqomah Sinau Bareng. Setidaknya lebih dari 60 Majelis Masyarakat Maiyah digelar setiap bulannya.
Diantaranya adalah; Mocopat Syafaat, Yogyakarta. Diselenggarakan sejak tahun 1999 di TKIT Alhamdulillah, Tamantirto, Kasihan, Bantul setiap tanggal 17 bulan masehi.
Gambang Syafaat, Semarang. Diselenggarakan sejak Desember tahun 1999 di Masjid Baiturrahman, Simpang Lima, Semarang setiap tanggal 25 bulan masehi.
Kemudian Kenduri Cinta, Jakarta. Diselenggarakaan sejak Juni tahun 2000 di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada hari jumat (malam hari) di minggu kedua setiap bulan masehi.
Bangbang Wetan, Surabaya. Diselenggarakan sejak tahun 2008 di Surabaya, sehari setelah Padhangmbulan di Jombang diadakan.
Papperandang Ate, Mandar, Sulawesi Barat. Sejak tahun 1998. Juguran Syafaat, Banyumas Raya, dan lain sebagainya.
Selama masa muda pun Cak Nun pernah ikut dalam lokakarya teater di berbagai negara. Diantaranya Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman, Festival Penyair Internasional di Rotterdam Belanda, International Writing Program di Universitas Iowa Amerika Serikat dan teater di Filipina.
Di luar kesibukannya yang padat itu, Cak Nun setidaknya sudah menulis 18 buku Antologi Puisi, 48 buku Kumpulan Esai, 2 buku Antologi Cerpen, 17 buku Naskah Drama, 2 Naskah Skenario Film, 6 buku Transkip Wawancara, 8 album Musik Puisi dan 13 album Musik Shalawat.
Berkat sepak terjangnya itu pun berbuah penghargaan Satyalencana. Penghargaan itu didapat pada bulan Maret 2011 tepatnya pada era Susilo Bambang Yudhoyono.
Penghargaan ini sendiri diberikan kepada sosok yang dinilai berjasa besar dalam kebudayaan serta dapat melestarikan kebudayaan daerah maupun nasional dimana hasil buah pemikirannya memiliki manfaat.
Sebelumnya, pada September 1991, Cak Nun menerima penghargaan Anugerah Adam Malik di Bidang Kesusastraan yang diberikan Yayasan Adam Malik.
Penyerahan anugerah ini diselenggarakan di Gedung Sekretariat ASEAN. Karena itu, dengan kiprah kebudayaan yang begitu gemilang, tak berlebihan jika penulis menganggap bahwa ia adalah Sunan Kalijaga di Era Milenial ini.
Kini, saatnya generasi muda, meneruskan apa yang sudah dimulai oleh Cak Nun, yaitu terus belajar dan melestarikan budaya Indonesia.
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.