News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Kembalinya Aroma NKK/BKK di Era Jokowi

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH

Sebab, untuk melakukan "impeachment" atau pemberhentian terhadap presiden, syaratnya cukup berat, sebagaimana diatur di dalam Pasal 7A UUD 1945 yang menyatakan, "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."

Dugaan intimidasi dan teror itu sejatinya tak perlu terjadi. Sebab, kebebasan berbicara, dan juga kebebasan akademik dan kebebasan mimbar di kampus dilindungi konstitusi dan undang-undang (UU).

Pertama, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."

Kedua, Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang menyatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas."

Ketiga, UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, khususnya Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, "Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara."

Keempat, secara spesifik kebebasan akademik dan kebebasan mimbar diatur di dalam UU No 12 Tahun 2002 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan negara menjamin kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi.

Kelima, UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal 24 ayat (1) disebutkan: dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi (PT) berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.

Keenam, UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam Pasal 51 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak: (c) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual; (e) memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan; dan (g) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.

Dalan Pasal 75 UU Guru dan Dosen, kebebasan akademik dan kebebasan mimbar ini dipertegas. Ayat (2) dan (4) menyatakan, seorang dosen berhak atas perlindungan yang mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga profesional yang meliputi pembatasan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.

Bahkan dalam ayat (6) ditegaskan: dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk menggunakan data dan sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang-undangan.

Sedemikian kuatnya pijakan atau landasan hukum kebebasan akademik dan kebebasan mimbar di Indonesia, maka tak sepatutnya bila ada pihak-pihak yang merasa terancam kemudian melakukan intimidasi dan teror agar sebuah diskusi dibatalkan.

Kita yakin, Presiden Jokowi tak tahu-menahu ihwal tindakan represif oknum-oknum tak bertanggung jawab itu. Itu adalah cara-cara Machiavellian yang menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan.

Tapi tak pelak, sedikit atau banyak, apa yang terjadi di UGM itu mencoreng citra pemerintahan Jokowi, baik di dalam maupun luar negeri. Sebab itu, harus ada tindakan tegas dari pemerintah dan aparat penegak hukum. Bila tidak, akan ada persepsi negatif bahwa pemerintah "merestui" tindakan barbar tersebut.

* Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH: Advokat / Ketua Umum Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini