News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Gajah di Pelupuk Mata yang Tak Terlihat

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suhendra Hadikuntono

Tujuan mereka menagih janji Jokowi saat kampanye bahwa perangkat desa akan diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Tapi ternyata janji Jokowi tidak kunjung direalisasikan oleh Menteri Dalam Negeri dengan berbagai alasan. Mengamuklah mereka. 
 
Dalam demonstrasi tersebut, tidak satu pun aparat Kemendagri dan Mendagri (saat itu) Tjahjo Kumolo yang berani menghadapi para demonstran.

Akhirnya, Suhendra yang saat itu menjabat Penasihat Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) turun tangan, pasang badan berjibaku menenangkan para demonstran yang sudah mengancam akan membuat kerusuhan.

Masalah pun teratasi dengan baik. Mendagri Tjahjo Kumolo mendapat pujian dan tepuk tangan dari media, sedangkan Suhendra kembali ke dunianya yang sepi.
 
Membagi Sertifikat Tanah Warga
 
Seperti biasa, setiap Presiden Jokowi berkunjung ke daerah selalu membagikan sertifikat tanah gratis kepada masyarakat. Hal itu juga dilakukan Presiden Jokowi pada 2018 di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Presiden membagi-bagikan sertifikat secara gratis kepada warga Langkat, dan tentu saja warga bahagia tiada tara mendapatkan sertifikat tanah gratis. Seperti biasa pula, Presiden Jokowi juga membagi-bagikan sepeda waktu itu.
 
Lalu, apa yang terjadi setelah Presiden Jokowi kembali ke Jakarta? Seluruh sertifikat tanah tersebut ditarik kembali oleh perangkat desa atas perintah Bupati Langkat, katanya.

Bagi warga yang mau mengambil sertifikat tersebut harus menebus dengan uang 3 sampa 5 juta rupiah. Sungguh tak beradab kelakuan oknum aparat pemerintah daerah tersebut, dan hal ini tentu saja tak pernah diketahui Jokowi.
 
Atas jeritan rakyat kecil itu, Suhendra yang dibantu tim kecilnya bergerilya ke beberapa desa di pelosok Kabupaten Langkat. Beliau mengambil kembali 1.700 sertifikat yang merupakan hak rakyat tersebut.

Usaha dari Suhendra tentu saja mendapatkan perlawanan keras dari aparat desa dan kecamatan.

Namun singkat cerita berkat kegigihannya akhirnya Suhendra berhasil menarik kembali ribuan sertifikat tanah tersebut dari aparat desa dan mengembalikan kepada rakyat. Peristiwa ini juga luput dari pemberitaan media nasional.
 
Pada saat saya tanya, apa motivasi Suhendra sehingga melakukan hal itu? Jawabnya, "Saya hanya ingin menyelamatkan nama baik Pak Jokowi yang telah berniat baik, tapi ‘digergaji’ oleh anak buahnya di level bawah." Mak Jleb!
 
Melawan Mafia Sepak Bola Indonesia

Anda pasti sudah membaca berita 17 orang oknum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan mafia sepak bola ditangkap dan diproses hukum oleh Polri.

Tapi tahukah Anda bahwa Suhendra Hadikuntono yang merupakan Ketua KPSN (Komite Perubahan Sepak Bola Nasional) yang menginisiasi pembongkaran kasus itu? 
 
Suhendra begitu gemas dengan semakin maraknya mafia sepak bola di Indonesia. Dia dibantu beberapa orang kemudian membentuk KPSN, dan hebatnya Suhendra pula yang membiayai semua kegiatan KPSN, bahkan membiayai sebagian kegiatan operasional aparat kepolisian untuk menangkap para mafia sepak bola.

Suhendra pula yang membiayai beberapa pertemuan KPSN dengan pemilik suara (voters) PSSI. 
 
Saat saya tanya, sudah habis berapa untuk membongkar mafia sepak bola ini? Beliau hanya tersenyum kecil, "Hanya beberapa M-lah."
 
Kemudian saya kejar lagi, apakah Bapak punya niat menjadi Ketua Umum PSSI? Dia menggeleng keras.

"Saya tidak ingin jadi apa-apa. Saya hanya ingin sepak bola Indonesia kembali ke marwahnya sebagai alat pemersatu dan kebanggaan bangsa dan negara."

Namun konon ini adalah operasi di dalam operasi yang sesungguhnya, yaitu menetralisir 35 juta suara massa mengambang seporter sepak bola, di mana dunia sepak bola seperti agama ke dua di Indonesia yang mudah diarahkan suaranya untuk mendukung calon presiden tertentu yang saat itu PSSI dipimpin oleh mantan Pangkostrad Edy Rahmayadi yang menjadi "tink tank" salah satu calon presiden saat itu.

Tanggal 20 Januari 2019, Edy jatuh melalui operasi yang sangat mulus, tanpa setetes darah pun tertumpah. Sambil merendah beliau mencontohkan Buwas (Budi Waseso) yang sukses menetralisir 7 jutaan massa mengambang di Pramuka yang saat itu dipimpin oleh salah satu kader partai non-koalisi.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini