Keduanya memiliki concern yang kuat terhadap kemanusiaan, ke-Indonesiaan-an dan kebangsaan. Sama-sama memiliki keprihatinan yang kuat terhadap masyarakat.
Bersikap moderat dan menjunjung tinggi pluralitas kehidupan. Sama-sama berada di lajur tata sikap yang moderat dan inklusif.
Keduanya sama-sama berlatar belakang kultur Jawa yang kuat. Pak Jakob lahir di Borobudur dan kemudian besar di Jogja, Pak Malik lahir di Jogja dan sempat dibesarkan di Magelang mengikuti ayahnya, seorang guru pejuang Muhammadiyah.
Hubungan akrab Pak Jakob dengan Pak Malik ini saya kira menjadi semacam entry point hubungan yang luas dan mendalam Pak Jakob dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya seperti Buya Syafi’i Ma’arif.
Diikuti tokoh-tokoh muda seperti Habib Chirzin, Ahmad Sobari, Muslim Abdurrahman, Rizal Sukma.
Keakraban dengan tokoh-tokoh itu menjadikan pemahaman Pak Jakob tentang Muhammadiyah lebih mendalam dan menyeluruh.
Ibaratnya, melihat matahari langsung pada planetnya, bukan pada sinar dan permukaannya. Semua itu memperkuat kekaguman, apresiasi beliau terhadap Muhammadiyah. Rabbi a’lam.
Sugeng tindak, Pak Jakob. Mugi-mugi Gusti Allah paring welas-asih.
*Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo