OLEH : HARSONO HADI, Learning Coach
BEBERAPA saat yang lalu, saya bertemu seorang kawan lama sewaktu bekerja di sebuah perusahaan fast moving consumer goods.
Ia sekarang menjalankan aktivitas mengajar di sebuah perguruan tinggi di Bogor dan meskipun telah memasuki usia pensiun, namun semangatnya masih sama seperti terakhir kami bersua.
Suaranya masih menggelegar dan senyumnya lebar, mengingat detail masa lalu dan saling bertukar pengalaman dengan riang.
Satu hal yang paling menyenangkan ia masih menunjukkan perasaan bahagia dan bangga bekerja dalam perusahaan tempat kami pernah bekerja bersama.
Saya terbayang beberapa tahun yang lalu ketika masih sering melakukan aktivitas bersama, energi dan antusiasmenya memang luar biasa, semangatnya tidak pernah surut meskipun terkadang harus menyelesaikan pekerjaan di luar jam kerja, dan di luar kota.
Selain spiritnya, salah satu hal lain yang saya ingat dari dirinya adalah kecintaan dan kebanggaannya pada produk perusahaan di mana kami bekerja.
Baca: Harsono Hadi, Pencetus Jargon Ini Jelaskan Mengapa Mesti “Jangan Lupa Bahagia?”
Ia selalu menggebu-gebu menceritakan keunggulan produk perusahaannya, kepada siapapun yang ditemui. Hal itu dilakukan sekalipun ia tidak berada di bagian pemasaran atau penjualan.
Saya masih ingat selorohnya sewaktu pulang bersama dan ia menunjukkan stock produk berbagai ukuran di mobilnya, “buat saudara dan teman, bro..., mereka harus tahu kalau kita memakai produk ini. Kalau bukan kita, siapa lagi yang kasih tahu..”.
Diam-diam saya membenarkan pendapatnya. Bagaimanapun kita sangat paham proses produksi dan kualitasnya, jadi sudah seharusnya kita percaya untuk menggunakannya.
Lain waktu, manakala bepergian keluar kota bersama dan menginap di hotel, hal pertama yang dilakukannya begitu check-in di kamar hotel adalah mengecek semua peralatan elektronik yang ada (remote TV, remote AC atau senter).
Ia akan terlebih dahulu memastikan apakah peralatan-peralatan tersebut memakai produk kami atau tidak, kalau ternyata isinya merek lain, maka ia akan segera menggantinya dengan produk yang sudah disiapkan di ranselnya.
Kebiasaan yang kemudian secara sadar saya ikuti sampai saat ini. Bagi beberapa orang, mungkin yang dilakukan kawan saya itu dinilai terlalu berlebihan alias lebay.
Tatkala saya berbagi cerita ringan ini di sesi-sesi pelatihan dan seminar, tidak sedikit yang geleng-geleng kepala bahkan menertawakan hal tersebut.
Mungkin sekilas memang lucu masuk kamar hotel lalu mengumpulkan, membuka dan mengganti perangkat semua remote dan alat lain.
Kebiasaan ini kemudian dikaitkan dengan dengan faktor demografi yang menjadi karakter kuat karena kebetulan kawan saya ini seorang baby boomers, generasi pekerja yang lahir sebelum 1964, bahkan sebelum Generasi X.
Sebagai baby boomers (yang sering disebut generasi kolonial) hal semacam itu dinilai wajar untuk zamannya tetapi mungkin terasa aneh untuk generasi terkini, terutama milenial.
Meskipun demikian, kebiasaan kawan saya ini juga menarik banyak orang untuk membahasnya dari sudut pandang loyalitas tak berbatas, begitu meminjam istilah salah seorang peserta seminar.
Loyalitas tak berbatas yang mereka maksud adalah sikap dan tindakan yang berdasarkan pada kesetiaan tanpa pamrih pada entitas, entah itu organisasi atau perusahaan.
Mereka menilai sikap loyal ini relevan dengan argumentasi bahwa dalam kaitan product/service perusahaan sudah sewajarnya karyawannya adalah orang pertama dan yang terdepan, yang harus membeli dan menggunakan produk/layanan di mana ia juga menggantungkan hidup dari perusahaan tersebut.
Rumusnya sederhana buat kawan saya, kalau tidak kita yang memulai menggunakan, bagaimana mungkin orang lain dan customer akan membeli dan memakainya?
Tentu akan lebih mudah meyakinkan orang lain betapa berkualitas sebuah produk dan jasa yang kita miliki, kalau kita sendiri benar-benar mengetahui kualitasnya dan sekaligus menggunakannya.
Rumus sederhana tersebut juga relevan jika dikaitkan dengan konteks lain, seperti bagaimana membangun antusiasme atau membuat orang lain bahagia.
Seorang pelatih olahraga, ambil contoh Juergen Klopp, pelatih team Liverpool di Premiere League Inggris: setiap kali timnya berlaga ia berdiri tidak duduk di bench, menyimak detik demi detik permainan dengan begitu antusias, berteriak-teriak bahkan menunjukkan emosinya ketika memberikan instruksi dari pinggir lapangan.
Berdiri, berlari kadang berjingkrak-jingkrak, menunjukkan gesture dan bahasa tubuh untuk menguatkan instruksi dan pesan yang disampaikan, dan bahkan ikut melakuka selebrasi saat pemainnya berhasil membobol gawang lawan.
Ia sudah pasti berharap dan menghendaki kesebelas pemainnya bertanding dengan penuh semangat, karena mengejar kemenangan.
Itulah sebenarnya alasan paling masuk akal mengapa ia begitu antusias dan berenergi di pinggir lapangan.
Antusiasme dan kegembiraan adalah dua hal yang gampang menular. Bayangkan suatu saat Anda bertemu dengan seseorang, sambil tersenyum mengulurkan dan menggoncangkan tangannya saat bersalaman, lalu Anda menanyakan kabarnya dengan semangat: “hei bro, apa kabarmu!?”
Yakinlah, orang itupun akan turut tersenyum, menggoncangkan tangannya dan merespons dengan jawaban yang antusias.
Senyum yang tulus, antusiasme dan kehangatan persahabatan mendorong tubuh menghasilkan hormon endorfin yang menimbulkan perasaan senang dan nyaman, yang akan membuat orang lain memberikan respons yang hangat dan penuh sukacita pula.
Demikian pula dengan kebahagiaan. Perasaan bahagia juga mampu menular dan memengaruhi orang lain.
Usaha kita akan lebih mudah untuk membuat orang-orang terdekat yang kita sayangi merasa bahagia, jikalau kita sendiri juga sudah merasakan kebahagiaan.
Bagaimana mungkin membahagiakan orang lain kalau kita sendiri sedang menderita, gegana (gelisah, galau merana) dan tidak bahagia?
Suasana hati yang tenteram dan nyaman akan tercermin secara fisik, sehingga menarik hati dan mempengaruhi response orang-orang dan lingkungan terdekat.
Terdapat hubungan timbali balik antara emotion dan motion, antara mind dan body. Seseorang yang tengah riang hatinya terlihat dari langkahnya yang ringan dan akan cenderung memancarkan aura yang cerah dan wajah yang semringah.
Pun demikian sebaliknya, tubuh yang letih dan lungkrah seringkali membuat pikiran dan hati tidak nyaman, yang kemudian terkirim sebagai energi negatif kepada orang lain.
Seorang penyanyi yang baik akan dapat membius dan mentransfer emosi yang dirasakan kepada penonton dan pendengarnya, ketika ia mampu menyanyikan lagu dengan penuh penghayatan, natural dan tidak dibuat-buat.
Ketika ia juga dapat menggabungkan apa yang dirasakan dari lagu tersebut kedalam suara dan gaya panggung yang ia bawakan.
Dari pertemuan singkat dan obrolan ringan yang tidak disengaja dengan kawan lama, saya mengambil insight sederhana: “Berbahagialah. Dengan demikian tugas untuk membuat orang lain bahagia akan jauh lebih mudah dilakukan.”
Nasihat ini dapat diilustrasikan dengan instruksi safety talk yang acapkali kita dengar dari cabin crew atau pramugari persis sebelum pesawat terbang yang kita tumpangi melakukan take off: “Kenakan maskermu terlebih dahulu, baru membantu yang lainnya”.(*)