News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Batik Dalam Pemaknaan Kualitas Pelayanan Publik

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

RES Fobia, Dosen FH UKSW Salatiga menyambut putri Gus Dur, Yenni Wahid yang diundang sebagai pembicara sebuah forum di kampus tersebut beberapa waktu lalu.

Pencapaian cultural identity achievement ini mendapatkan tantangan dari globalisasi yang mengusung panji-panji kapitalisme.

Dengan adanya gempuran dahsyat budaya asing yang mengalir dalam derasnya globalisasi, maka bangsa Indonesia sudah sepatutnya mengambil sikap yakni mempertahankan nilai-nilai dan beliefs system melalui karya seni batik yang menjadi ciri khas bangsa Indoesia.

Sebab batik merupakan identitas, penjelasan strata sosial, bahasa kebudayaan, spiritualitas manusia, penemuan teknologi, dan perjalanan suatu peradaban yang menjadi identitas bangsa Indonesia.

Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan bahan malam (wax) yang diaplikasikan ke atas kain sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye) atau dalam bahasa Inggrisnya “wax resist dyeing” (Sularso dkk.; 2009).

Sehubungan pemahaman tentang batik maka Kasiyan (dalam Sariyatun 2018), mengatakan dua hal penting: (1) pengkritisan atas dimensi sosiologis yakni bagaimana budaya batik dipahami dalam kesadaran dalam lingkungan masyarakat kontemporer; (2) pengkritisan dari dimensi akademis untuk mencermati bagaimana sesungguhnya nilai-nilai filosofis batik mendapatkan ruang concern sebagai disiplin kajian.

Van Roojen (2001) menyatakan apa yang dimaksud batik klasik bersumber pada arus budaya yang mendasarinya yakni pada masa kerajaan Mataram II (1575-1755) di pulau Jawa.

Adapun istilah klasik merujuk pada ragam hias dari masa pra-Hindu, Hindu-Jawa Majapahit dan masa kesultanan yang berasal dari pengaruh kerajaan Islam Demak dan Pajang.

Tentang fungsinya, Batik Jawa terkenal sangat intricate yang berarti memiliki tingkat kerumitan tinggi dalam hal motif dan pewarnaan.

Dalam hal motif, batik Jawa memiliki motif-motif yang kental akan filosofi hidup. Batik dengan ragam hias dan motifnya telah mengakar dalam kebudayaan Jawa dan mempunyai fungsi masing-masing mulai dari fungsi untuk menggendong bayi, untuk alas, selimut, khusus untuk di pakai raja, khusus dipakai pengantin sampai untuk kain penutup jenasah (Hardjonagoro; 1999).

Secara material, bahan-bahan pewarna batik yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri, seperti pohon mengkudu, tinggi, soga, dan nila.

Soda yang menjadi salah satu bahan pembuat batik dibuat sendiri dari soda abu, serta bahan garam dibuat dari tanah lumpur.

Bahan kain umumnya berupa mori, sutra, katun, atau pun media lainnya. Bahan lain yang biasa digunakan adalah malam atau lilin lebah.

Dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan malam adalah hasil sekresi dari lebah madu dan jenis lebah lainnya untuk keperluan tertentu tidak dapat digantikan dengan lilin buatan.

Josephine Komara, pendiri Bin House yang merupakan salah satu penghasil batik terbaik dengan gerai toko yang tersebar sampai ke Singapura dan Jepang, menandaskan, “Batik, yang dihasilkan di Indonesia, hanya dapat dihasilkan di Indonesia” (Rospita Fajar Utami; 2016).

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini