OLEH : DWI MUNTHAHA, Peserta Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
SAAT aksi massa merebak di berbagai wilayah akibat pengesahaan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker), Presiden Jokowi justru memilih untuk terbang ke Kalimantan Tengah guna melihat persiapan food estate.
Dengan alasan agenda tersebut sudah terjadwal dan menjadi bagian penting dari Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024, Jokowi terkesan lebih memprioritaskan urusan pangan sebagai isu utama.
Tak ada yang mampu menyangkal jika pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Namun yang kerap diingkari justru keberadaaan aktor utama penyedia pangan.
Selama ini, dalam situasi dan kondisi apa pun, pangan dengan setia disediakan petani. Kesetiaan yang hampir tidak setimpal dengan ganjaran kesejahteraan yang mereka terima, hingga batas kesetiaan itu pun mulai goyah dengan menyusutnya jumlah petani.
Data BPS 2019, menyebutkan jumlah petani saat ini 33.487.806 jiwa. Jika kita bandingkan dengan data di tahun 1998, yang merupakan tahun awal reformasi, ketika harapan disemai, jumlah petani saat itu 39.414.765 jiwa.
Dalam kurun 20 tahun terjadi pengurangan jumlah petani mendekati angka 6 juta jiwa. Angka yang mencemaskan, terlebih profil petani saat ini hanya sekitar 8% atau 2,7 juta jiwa yang masuk dalam rentang umur 20-49 tahun.
Dapat dipastikan jumlah petani akan menyusut secara signifikan dalam 10 tahun ke depan. Lalu apakah kecemasan itu juga ada dalam benak Presiden Jokowi, hingga proyek food estate harus segera dilaksanakan?
Klaim Indonesia sebagai negara agraris walau secara demografis adalah negara kepulauan, sudah lama dinyatakan. Tapi kenyataannya pemerintah selalu keteteran menjaga kedaulatan pangan.
Badan Urusan Logistik (Bulog) masih rajin melakukan impor beras dengan angka yang fluktuatif atas alasan menjaga ketahanan pangan.
Di sisi lain, petani sering mengeluhkan panennya yang tidak terserap Bulog. Pernyataan negara agraris lebih memiliki nuansa politis.
Dalam agraris, terdapat agrikultur yang jutaan masyarakat petani ada di dalamnya. Jumlah jiwa inilah yang membuat petani memiliki nilai politis.
Maka tidak heran saat kontestasi politik, petani menjadi kelompok utama yang disasar untuk dipengaruhi.
Namun setelah kekuasaan diraih, petani cendrung diabaikan, bahkan parahnya banyak regulasi-regulasi produk kekuasaan yang justru memarginalkan dan mempersulit hidup petani.