Oleh: Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH
TRIBUNNEWS.COM - Di era Orde Baru menjadi "ATM" pejabat.
Di era Reformasi menjadi "bancakan". Akibatnya, banyak yang merugi bahkan gulung tikar.
Mujur-mujurnya, hidup segan mati tak mau. Itulah nasib Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia.
Di era Orba, bukan rahasia lagi BUMN-BUMN menjadi "Anjungan Tunai Mandiri" atau "ATM" pejabat dan kroni-kroninya.
Di era Reformasi ini, BUMN-BUMN dalam "penguasaan" manajemen, relawan dan partai politik, sehingga tidak mustahil ketika BUMN-BUMN itu kemudian menjadi "bancakan" atau ajang bagi-bagi rezeki.
Mereka tak pernah ambil pusing. Kalau BUMN merugi, negara akan menyuntik modal melalui Penyertaan Modal Negara (BUMN).
Baca juga: Relawan Jokowi Kembali Diangkat Jadi Komisaris BUMN. Politik Balas Budi?
Apalagi di antara BUMN-BUMN itu ada yang mengemban misi Public Service Obligation (PSO).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pun akan menyetujui PMN, karena toh banyak politisi yang duduk ongkang-ongkang di perusahaan plat merah itu.
Di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, PT Indosat bahkan dijual ke Singapura.
Di era Presiden Jokowi, orang-orang parpol dan relawan pendukungnya berbondong-bondong masuk BUMN, terutama sebagai komisaris.
Menteri BUMN Erick Thohir yang semula, berdasarkan latar belakangnya sebagai pengusaha, kita harapkan dapat bekerja profesional dan independen, ternyata faktanya ia justru banyak memasukkan orang parpol dan relawan ke BUMN.
Erick menerapkan politik balas budi model politik etis era kolonial Belanda.
Dalam sebulan saja, Erick mengangkat tiga relawan Jokowi menjadi komisaris di BUMN.