Mereka adalah Ulin Ni'am Yusron sebagai Komisaris Independen PT Pengembangan Pariwisata Indonesia, Eko Sulistyo sebagai Komisaris Independen PT PLN, dan Dyah Kartika Rini sebagai Komisaris Independen PT Jasa Raharja.
Belasan politisi dan relawan lain yang menjadi komisaris di BUMN antara lain Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (Komisaris Utama PT Pertamina), Rizal Mallarangeng, Andi Gani Nena Wea, Fadjroel Rachman (merangkap Juru Bicara Presiden), Lukman Edy, Wawan Iriawan, Arif Budimanta, Dwi Ria Latifa, Zulnahar Usman, Rizal Calvary Marimbo, dan Michael Umbas.
Meski demikian, salah satu organ relawan Jokowi tetap saja mengaku masih kurang. Organ relawan itu menilai keberadaan relawan-relawan pendukung Jokowi di BUMN masih kurang banyak.
Orang parpol kemudian menimpali, keberadaan relawan di BUMN sudah kelewat banyak.
Justru orang parpol-lah yang masih kurang banyak di BUMN. BUMN pun seakan menjadi ajang rebutan antara relawan dan parpol.
Sesungguhnya, apakah fenomena BUMN menjadi "ATM" di era Orba, dan "bancakan" di era Reformasi ini melanggar hukum atau tidak?
Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa pula banyak korupsi di BUMN?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
Lembaga Studi dan Analisis Hukum Civil Law akan melakukan penelitian atau kajian. Penelitian dilakukan dari hulu hingga hilir.
Latar belakang penelitian ini adalah Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Penelitian berangkat dari observasi, berbagai literatur, termasuk peraturan perundang-undangan.
Objek yang menjadi perhatian peneliti adalah peraturan perundang-undangan terkait BUMN, dan masalah kerugian yang dialami perusahaan-perusahaan BUMN.
Peneliti mencari penyebab kerugian yang dialami BUMN, untuk mengetahui secara terukur berdasarkan data primer, seunder dan bebagai pustaka sebagai sumber penelitian tersebut.
Di hulu, penelitian dilakukan terhadap Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Misalnya Pasal 6. Di pasal ini hanya disebut, BUMN diawasi oleh Komisaris dan Dewan Pengawas.