Catatan Perjalanan Egy Massadiah
TRIBUNNERS - Rigid Inflatable Boat (RIB) Kopassus melaju cepat, membelah Segara Anakan, Cilacap – Jawa Tengah, Jumat (4/12/2020).
Sesekali, perahu yang bisa melaju hingga 60 knot (111 km/jam) itu melambat saat berpapasan dengan sampan nelayan, atau kapal motor tempel milik penduduk. Gelombang yang ditimbulkan bisa mengakibatkan perahu mereka terbalik.
Segara Anakan adalah laguna raksasa yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa di perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Baca juga: BNPB : Keberadaan Ekosistem Garis Pantai Penting untuk Mitigasi Tsunami di Selatan Jawa
Perahu juga terkadang melambat karena sebab lain: Baling-baling tersangkut sampah. Benar, perairan Segara Anakan ini relatif kotor. Banyak sampah dan limbah rumah tangga mengapung. Selain itu, tingkat sedimentasinya juga sangat tinggi.
Sekitar 1,5 jam dari dermaga Wijayapura, perahu cepat melego jangkar kurang lebih 300 meter dari lepas pantai.
Beberapa unit perahu nelayan dengan dua cadik di kiri-kanannya mendekat. Penumpang harus pindah ke perahu kecil itu, untuk sampai ke tempat yang dituju.
Iring-iringan perahu nelayan pun menyusuri tepian menuju sebuah teluk, dan merapat di “dermaga darurat”.
Baca juga: Duka Doni Monardo: Selamat Jalan Kolonel Ckm dr. Is Priyadi, Pahlawan Citarum itu Berpulang
Perahu-demi-perahu menurunkan penumpangnya. Satu perahu berisikan kurang dari 10 orang. Di perahu terdepan, tampak Kepala BNPB, Letjen TNI Doni Monardo, disertai sejumlah pejabat teras BNPB yang lain.
Tak kurang dari 50 personel lain tampak mengiringi Doni Monardo. Mereka terdiri atas aparat TNI/Polri wilayah Cilacap, petugas BPBD Kabupaten Cilacap, dan petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah.
Satu di antara mereka adalah Letkol Inf. Wahyo Yuniartoto, yang menjabat Dandim Cilacap. Lelaki kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah ini adalah pamen TNI-AD lulusan Akmil tahun 2001, dari kecabangan infanteri Baret Merah (Kopassus).
Siang itu, Wahyo seperti berkesempatan reuni dengan mantan komandannya di Kopassus, Letjen TNI Doni Monardo.
Selain bersinggungan di kesatuan baret merah, Wahyo juga pernah mendampingi Doni Monardo melakukan penanaman pohon di lokasi longsor Banjarnegara, daerah kelahirannya. Saat itu, Doni masih menjabat Danjen Kopassus (2014).
Baca juga: Doni Minta Kelompok Rentan Dipisah dari Kelompok Muda di Pengungsian Erupsi Gunung Ili Lewotolok
Wahyo tak pernah jauh dari Doni saat mengunjungi Cilacap. Kehadiran mantan komandannya itu memang sengaja menuju kawasan hutan konservasi yang ada di teritori binaannya. Sebelum ke Cilacap, Doni berturut-turut mengunjungi Lembata (NTT), Lumajang (Jawa Timur), dan Malang (Jawa Timur).
Di Lembata dan Lumajang, Doni meninjau langsung kondisi masyarakat pasca letusan gunung berapi Ili Lewotolok (Lembata) dan Semeru (Lumajang). Sedangkan di Malang, Doni melihat persiapan Politeknik Kesehatan Malang (Poltekes) yang akan dijadikan rumah sakit lapangan penanganan pasien Covid-19.
Dari Malang menuju Cilacap, Doni melewati jalan darat. Tiba pagi hari, istirahat sekitar dua jam, langsung menuju Cagar Alam Nusakambangan Barat, Pulau Nusakambangan.
Untuk apa Doni blusukan masuk hutan antah-berantah ini? Demi pohon. Pohon istimewa yang disebut pelahlar (Dipterocarpus littoralis). Bahasa umumnya meranti Jawa. Pohon ini bisa tumbuh maksimal dengan diameter 1,5 meter dan ketinggian lebih dari 100 meter.
Sebuah pohon yang istimewa, dan termasuk pohon endemik Nusakambangan. “Tidak ada di daerah lain. Ada banyak pohon meranti gunung, tetapi jenisnya berbeda,” ujar petugas BKSDA Jateng yang mendampingi Doni Monardo di tengah hutan.
Baca juga: Doni Monardo: Covid-19 Sangat Berbahaya Bagi Lansia
Di Cagar Alam Nusakambangan Barat, jumlah “pohon langka” itu berbilang ratusan. Doni berpesan agar dijaga dengan baik.
Bahkan perlu dipikirkan bagaimana membudidayakannya untuk bisa ditanam di wilayah pesisir pulau Jawa, utamanya di wilayah Cilacap – Kebumen – Yogyakarta.
Sebab, tiga daerah selatan Jawa ini senantiasa berada dalam bayang-bayang tsunami manakala terjadi gempa bumi skala besar di dasar laut.
Seperti halnya di Cilacap. Saat gempa besar di lepas pantai Pangandaran dan mengakibatkan tsunami, hutan Nusakambangan adalah “penyelamat” Cilacap. Jika tidak ada Pulau Nusakambangan, bisa dipastikan, kota berpenduduk sekitar dua juta jiwa itu bakal terdampak.
Sebaliknya di selatan Kebumen, tepatnya di wilayah Suwuk dan Karangbolong. Pesisirnya porak poranda. Objek wisata Pantai Suwuk lengkap dengan ikon body pesawat bekas yang disulap menjadi resto dan gedung bioskop, rusak parah.
“Tapi kalau arah tsunami dari sisi timur yang terbuka, saya pastikan Cilacap belum aman. Karenanya, gerakan ‘green belt’ harus kita lakukan,” ujar Doni.
Kegiatan Doni Monardo di Cilacap, paralel dengan karakter bencana yang sifatnya berulang. Sebelum kunjungan ini, Doni juga sudah mendatangi berbagai daerah yang berpotensi bencana. Seperti di NTT, NTB, Aceh, Sumatera Barat, Sentani, Papua bahkan Sangihe.
Bencana alam sifatnya berulang. Sering dikatakan Doni, perang itu masih mungkin terjadi, tetapi yang namanya bencana pasti terjadi. Persoalan kapan terjadi, hanya Tuhan yang tahu. Tugas manusia adalah waspada, terlebih mengingat Indonesia terletak di daerah yang rawan bencana.
Doni teringat pertemuannya dengan peneliti gempa dan tsunami dari Brigham Young University, Amerika Serikat Profesor Ron Harris di kantor BNPB pada tahun 2019. Jauh sebelum terjadi tsunami Aceh 2004, Profesor Ron sudah melakukan penelitian di sana.
Pasca terjadi tsunami, berkali-kali Profesor Ron menyatakan penyesalannya. Katanya, kalau saja ia punya waktu dan menyempatkan diri menjumpai masyarakat Aceh dan Sumatera: memasyarakatkan hasil penelitiannya, niscaya korban tsunami Aceh 2004 tidak akan sebesar itu.
Pernyataan Prof Ron juga membuka tabir ilmu pengetahuan yang lain, dengan hasil penelitian tim Universitas Syah Kuala, Aceh atas situs bencana Gue Ek Leuntie di Desa Pasi, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar. Lapisan struktur tanah padat yang ada di gua tersebut, merupakan bukti adanya tsunami berulang.
Masih Ada Kobra?
Kembali ke Nusakambangan. Lebih satu jam Doni Monardo berada di tengah hutan Cagar Alam Nusakambangan Barat. Ia memegang dan mengusap-usap pohon pelahlar.
Tiba-tiba, kepada tim BKSDA Jawa Tengah, Doni bertanya, “masih ada kobra?”
Yang ditanya sempat terperanjat, tapi lekas menjawab, “oh, masih banyak pak! beberapa hari yang lalu kami menangkap kobra,” ujarnya.
Rupanya Doni terkenang tahun 1985 lalu, saat pendidikan dan latihan Kopassus di daerah ini. “Harus benar-benar dijaga hutan ini.
Sebab, selain fungsi ekologis, daerah ini juga tempat berlatih yang sangat bagus bagi prajurit TNI kita. Kalau sampai rusak, wah... di mana lagi prajurit kita bisa berlatih di tempat sehebat ini,” tambah jenderal bintang tiga lulusan Akmil 1985 itu.
Sejurus kemudian, Doni bertanya lagi, “Macan tutulnya masih ada?”
“Masih, pak!. Kami juga baru-baru ini mendapatkan rekaman foto dan videonya melalui kamera trap” kata anggota BKSDA Jawa Tengah yang lainnya. Hasil pemantauan mereka, juga masih ditemukan beberapa satwa liar seperti babi hutan, kucing hutan dan lain sebagainya.
BNPB Dukung Konservasi
Matahari sedikit condong ke barat, ketika Doni Monardo dan rombongan meninggalkan hutan Cagar Alam Nusakambangan Barat. Dalam perjalanan kembali ke Dermaga Wijayapura, rombongan singgah di kantor Kecamatan Kampung Laut.
Kecamatan ini terletak di perairan Segara Anakan, terdiri atas empat desa, yaitu Panikel, Ujung Gagak, Ujung Alang, dan Klaces.
Keempat desa ini memiliki karakteristik berbeda-beda. Panikel dan Ujung Gagak sekarang daratannya sudah menyatu dengan Pulau Jawa. Mata pencaharian warga Desa Panikel sebagian besar bertani, sedangkan penduduk Ujung Gagak adalah nelayan di Segara Anakan dan laut lepas (Samudera Hindia).
Desa yang letaknya terpisah dari Pulau Jawa oleh Segara Anakan adalah Desa Klaces dan Ujung Alang. Desa Klaces adalah desa paling baru di kecamatan ini. Penduduknya masih sedikit yaitu kurang dari 300 kepala keluarga. Meskipun baru tetapi di desa inilah pusat administrasi Kecamatan Kampung Laut.
Nusakambangan selama ini hanya dikenal sebagai pulau penjara yang tertutup untuk umum. Orang yang mendengar nama pulau ini sudah pasti membayangkan suatu penjara yang dihuni narapidana kelas kakap.
Padahal ada juga penduduk dan aneka kekayaan hayati hutan tropis. Salah satu hutan hujan tropis dataran rendah yang tersisa di Jawa hanya ada di pulau ini.
Di pulau ini terdapat beberapa kawasan konservasi yang telah ditetapkan sejak jaman Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1937, yaitu Cagar Alam (CA) Nusakambangan Barat (625 ha), CA Nusakambangan Timur (277 ha), CA Karang Bolong (0,5 ha), dan CA Wijayakusumah (1 ha) (Staatblaad van Nederlandsch-Indie, 1937).
Siang itu, Camat Kampung Laut, Asep Kuncoro menghindangkan makan siang tradisional khas Kampung Laut.
Lengkap dengan singkong, pisang dan buah kelapa muda. Asep berkali-kali menyampaikan rasa terima kasih atas kunjungan dan kepedulian pejabat pusat. “Setahu saya, pejabat pusat baru Bapak Kepala BNPB yang berkunjung ke kampung kami,” katanya.
Doni menanggapi, pihaknya akan menyiapkan program konservasi alam, lebih khusus lagi hutan bakau. Selain bagus untuk mencegah intrusi air laut, juga bermanfaat bagi pondasi alam. Pengerjaannya melibatkan penduduk setempat, sehingga ada dampak ekonomi bagi masyarakat.
Pulau Nusakambangan menjadi benteng bagi wilayah Cilacap ketika terjadi gempabumi yang memicu tsunami Pangandaran 2006 silam. Berdasarkan hasil catatan ilmiah dari berbagai pakar, gelombang tsunami yang menghantam wilayah Nusakambangan waktu itu mencapai ketinggian antara 15 sampai 22 meter.
Melihat adanya potensi ancaman gempabumi dan tsunami tersebut, Doni meminta seluruh komponen pemerintah daerah Cilacap dapat membuat kebijakan yang merujuk kepada pelestarian alam dan lingkungan sebagai upaya mitigasi bencana berbasis ekosistem.
"Ketika kawasan-kawasan konservasi ini beralih fungsi, ini yang kita khawatirkan akan bisa menimbulkan persoalan bagi keselamatan warga Cilacap. Karena wilayah Cilacap ternyata penduduknya sangat padat,” jelas Doni.
Di samping menjaga kawasan konservasi, Doni juga menaruh perhatian agar kemudian program pemulihan ekosistem sebagai upaya mitigasi bencana juga dapat memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat. Apabila kawasan konservasi alam di Nusakambangan dapat dijaga dengan baik, maka hal itu dapat menjadi tempat penelitian tentang keseimbangan alam dan pemberdayaan ekonomi.
Vegetasi Garis Pantai
Dalam kesempatan yang sama, Plt Direktur Pemetaan dan Risiko Bencana BNPB, Abdul Muhari melakukan paparan tentang kejadian tsunami 2006 serta gambaran ke depan.
Muhari menyampaikan bahwa keberadaan ekosistem di sepanjang garis pantai di Selatan Jawa sangat penting untuk mitigasi potensi bencana tsunami. Selain dapat mengurangi dampak kerusakan, juga dapat mencegah jatuhnya korban jiwa.
"Dengan adanya pembatas ekosistem seperti vegetasi tanaman kuat di sepanjang garis pantai, maka energi gelombang tsunami dapat direduksi.
Menurut hasil penelitian pasca tsunami Pangandaran 2006 silam, tim menemukan bukti sisa kerusakan ranting pohon yang diduga bekas hantaman gelombang tsunami pada ketinggian 15 hingga 22 meter. Kendati banyak pohon rusak, namun energi gelombang diyakini menjadi melemah," papar Muhari.
Belajar dari tsunami 2006, menurut Muhari memang masih ada dua potensi besar yang dapat memicu munculnya tsunami di wilayah Selatan Jawa di masa depan, khususnya yang dapat berdampak pada wilayah Kabupaten Cilacap.
Potensi pertama adalah zona patahan dari wilayah selatan Banten hingga Pangandaran, yang dapat berpotensi memicu gempa dasar laut dengan kekuatan hingga magnitudo 8,8.
Apabila periode gempa dasar laut tersebut berlangsung hingga 30-60 detik, maka hal itu dapat dipastikan akan memicu terjadinya gelombang tsunami dengan ketinggian hingga 5 meter atau lebih.
Kemudian potensi kedua adalah gempa dasar laut dengan kekuatan hingga magnitudo 8,9 dengan episentrum di wilayah selatan Yogyakarta hingga Pacitan. Maka daerah Kulonprogo, Kebumen, Purworejo hingga Cilacap dapat terdampak gelombang tsunami.
“Yang sebelah barat di selatan Banten itu 8,8 (magnitudo), yang di sebelah timur ini (magnitudonya) 8,9,” katanya.
Apabila pelepasan energi dari kedua titik tersebut terjadi bersamaan, maka anomalinya dapat lebih besar lagi menjadi magnitudo 9,1 seperti yang pernah terjadi di Aceh pada Desember 2004. (*)