“Mana buktinya,” sergah Doni.
“Kami punya hasil labnya, pak,” tangkas Halim menjawab.
Doni pun menuju tumpukan piring ukuran kecil. Spontan dia bertanya, “Mana piring yang besar?” Ya, supanya saking antusiasnya, Doni tidak hanya ingin sekadar mencicip dengan piring kecil, tetapi langsung mengambil porsi normal dengan piring besar.
Pada semua hidangan sagu olahan tadi, sudah sangat gurih. Bahkan untuk yang masakan briyani, sudah ada campuran daging di dalamnya. Sehingga praktis tidak lagi memerlukan lauk pauk.
Toh, di ujung deretan penanak nasi, tampak dua mangkok berisi balado jengkol. “Wah.... ini nih yang bikin enak,” kata Doni menunjuk jengkol sambil tertawa.
Makanan Leluhur
Sedikit mengilas balik ke belakang. Sejak Doni Monardo menggulirkan program emas hijau tahun 2016/2017 di Ambon (saat itu Doni Monaro menjabat Pangdam Pattimura), Doni sudah mengkampanyekan “menomorduakan nasi dan menggantinya dengan sagu”.
Ia bahkan melempar tagline, “Tidak makan nasi, hebat!” “Orang cerdas makan sagu!”
Suatu hari Doni berkisah dengan sangat fasih ihwal tradisi nenek moyang kita yang sejatinya tidak mengenal beras. Para leluhur kita memenuhi kebutuhan karbohidratnya dengan ubi jalar, jagung, kentang, talas, sukun, singkong, dan... sagu!
Dengan makanan itu, bangsa kita sudah terkenal unggul sejak dulu, sejak zaman kerajaan-kerajaan. Epik legendaris tentang Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, adalah sejarah nyata betapa unggul SDM kita.
Dalam banyak prasasti dan data kuno, beras adalah tumbuhan yang banyak ditemukan di Pulau Jawa. Sekali lagi: Jawa, bukan Indonesia Timur serta sebagian Sumatera. Lantas, mengapa padi/beras kemudian dipaksakan untuk dikonsumsi di daerah timur Indonesia?
Kemungkinannya ada beberapa faktor. Pertama, pemerintah masa lalu perlu memastikan swasembada pangan tercapai, dan padi merupakan varietas yang dapat diukur. Kedua, perlu dibangun dam/bendungan dan sistem pengairan yang berbasiskan proyek.
Dunia global kerap mengukur taraf sebuah bangsa dengan ketersediaan pangan standar. Dan pemerintah masa lalu memakai beras sebagai alat ukur pangan satu-satunya.
Padahal, ada sagu yang merupakan pangan lokal dan sudah sejak dahulu kala menjadi sumber karbohidrat penduduk di wilayah timur Indonesia.
Kondisi alam dan masyarakatnya membuat sagu dapat tumbuh mengikuti struktur alam yang ada di wilayah tersebut.