Dan itu terjadi pada Selasa, 31 Maret 1981, di Bangkok, Thailand.
Setelah mengamati kondisi pesawat Woyla, pada Selasa dini hari itu, Benny meminta secarik kertas dari Teddy dan menulis pesan, “Dear Pak Yoga, from now on, the show is mine! LBM.”
Teddy berlari dan menyampaikan kertas itu kepada Jenderal Yoga, Kepala Badan Koordinasi Intelejen, yang berada di Pusat Pengendalian Krisis, sekira 400 meter dari lokasi Benny.
Benny segera bergerak begitu Teddy membawa balasan dari Yoga, “Ok Ben. Sukses.”
Beberapa menit kemudian kita tahu akhir kisahnya: Dengan riang, Yoga mengumpat kepada Benny, "Di*****. Ning endi kowe? (Sialan, kamu di mana?)"
"Di pesawat, Pak. Sudah selesai semua. Beres," kata Benny lewat mik yang dipancarkan dari kokpit pesawat Woyla.
Teddy-lah yang memastikan kelistrikan pesawat itu berfungsi ketika Benny hendak mengontak Yoga.
Dunia kemudian mencatat keberhasilan operasi ini dan disamakan dengan operasi militer Israel dan Jerman yang juga berhasil menyelamatkan kasus serupa.
The Asian Wall Street Journal mencatat, "From hijack to the last gunshot, the entire operation lasted about 60 hours. It required a high degree of organisation and planning. It also required courage, efficiency and discipline."
Keberhasilan Operasi Woyla ini mengerek kepopuleran Benny Moerdani. Tetapi, dia tidak lupa untuk membawa serta stafnya yang paling setia untuk ikut naik: Teddy Rusdy.
Mewarisi Darah Pejuang
Lahir di bilangan Tanah Abang, Jakarta pada 11 Mei 1939, Teddy Rusdy merupakan putra dari Hayuni Mathamin dan Nyi Mas Rodiah.
Teddy kecil mengalami segala kesusahan ketika negeri ini masih di bawah kekuasaan Belanda, Jepang, sampai merdeka pada 17 Agustus 1945.
Tetapi, di antara memori masa kecilnya yang paling kuat adalah ketika kakeknya dari pihak ibu, Haji Muhammad Zis pulang dari pengasingannya di Boven Digul.