Apabila tahapan dasar takhalli ini berhasil dilalui, maka tahapan berikutnya adalah tahalli,yang berarti menghias diri. Ketika semua sifat buruk-negatif telah disingkirkan dari hati dan pikiran, serta sedikit demi sedikit perbuatan/tindakan tidak lagi menimbulkan kerusakan di muka bumi, maka seorang Salik perlu menata hati, mengisinya dengan kepribadian luhur nan berbudi pekerti. Lagi-lagi, Imam al-Ghazali, Sang Hujjatul Islam, itu mengarang Jilid ke-4 seri Ihya’ Ulumiddin yang disebutnya sebagai Rub’ul Munjiyat (Hal-hal Yang Menyelamatkan).
Topik-topik dalam Rub’ul Munjiyat ini sepenuhnya berkenaan tentang cara menata hati agar terhindari dari sifat buruk, lalu mengamalkan sifat-sifat positif, seperti bertaubat untuk tidak mengulangi dosa dan maksiat; selalu merasa takut (khauf) akan siksa dan murka Allah, terus berharap (raja’) akan ampunan Allah; memilih status fakir dan pola hidup zuhud dari cinta duniawi; membiasakan hati tawakal pada Allah, cinta dan rindu pada Allah, ridha atas segala takdir Allah; ikhlas dan jujur; terus mendekatkan diri pada Allah dan mengevaluasi setiap perilakunya, selalu bertafakkur akan kebesaran Allah, dan ingat akan akhir dari perjalanan hidup berupa kematian.
Seorang Salik yang belum memiliki semua sifat hati yang baik, luhur, terpuji di atas maka belumlah ia berhasil menempuh tahapan tahalli. Seorang Salik misalnya tidak memiliki hati yang dengki, sombong, pamer, namun ia belum memiliki hati yang tulus, ridha atas semua takdir, tawakal, maka ia bisa dibilang masih berada pada tahapan takhalli, belum tahalli. Sebaliknya, mustahil tahapan tahalli dimasuki tanpa lebih dulu menyelesaikan proses takhalli. Seorang Salik mustahil memiliki hati yang zuhud jika hatinya masih cinta, rakus, terikat pada gemerlap duniawi.
Kebersihan hati dan keluhuran budi pekerti (perbuatan) adalah tujuan dari beragama itu sendiri. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang luhur,” (HR. Ahmad no. 8952). Jika seorang Salik telah menunjukkan perilaku akhlak mulia maka tahapan tahalli baru bisa disebut berhasil dilalui.
Akhlak mulia adalah perkara substansi, bukan formalitas lahiriah. Akhlak mulia inilah dasar-dasar pokok agama. Sultanul Ulama, Izzu bin Abdis Salam, yang mengamalkan tarekatnya Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili, pernah mengatakan, “kaum Sufi itu berdiri di atas fondasi syariat (qawa’id as-syariat) yang tidak akan pernah runtuh dunia hingga akhirat. Sedangkan kelompok lain hanya berdiri di atas formalitas saja (ar-rusum),” (Hamid Ibrahim Shaqr, Nur at-Tahqiq, 96).
Penggambaran tentang perbedaan antara ahlur rusum (beragama sebatas formalitas dan penuh kemunafikan) dan ahlul haqiqat (kaum Sufi) dapat dilihat dalam firman Allah swt:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya),” (Qs. at-Taubah: 107).
Ayat di atas menggambarkan tentang suatu kelompok penganut agama, yang memanfaatkan masjid sebagai markaz gerakannya. Di dalam masjid tersebut, perilaku mereka sangat merusak, menimbulkan perpecahan dan permusuhan, serta menghalang-halangi orang berjihad di jalan Allah swt. Namun begitu, secara terang-terangan mereka mengaku kubunya sebagai pembela kebaikan dan agama. Padahal, hati mereka penuh dusta. Inilah contoh ahlur rusum, yang mengaku beragama namun tidak bermoral, tidak berbudi pekerti yang luhur.
Kaum Sufi adalah Ahlul Haqiqah, bukan Ahlur Rusum. Hakikat itu sendiri baru bisa diraih ketika dua tahapan sebelumnya (takhalli dan tahalli) betul-betul berhasil dilalui. Seorang Salik yang berhasil melewati proses takhalli dan tahalli maka ia akan memasuki tahapan akhir, tajalli. Ibnu Arabi mendefinisikan Tajalli ini sebagai ma yankasyifu lil qulub min anwaril ghuyub, bentuk ketersingkapan hati manusia karena mendapatkan pancaran cahaya-cahaya gaib (Ibnu Arabi, Kitab al-Tajalliyat, 2004). Ibnu Arabi sendiri dalam kitab at-Tajalliyat membahas secara terperinci macam-macam Tajalli yang bahkan lebih dari seratus macam itu.
Salah satu yang penting dibicarakan adalah Tajalli Syuhudi, yakni zhuhurul haqq bi asma’ihi fil akwan allati hiya shuwaruha, penampakan kebenaran Tuhan (Haqq) melalui nama-nama-Nya di dalam alam semesta yang sekaligus sebagai bentuk wadag dari nama-nama tersebut (Mawlawy Muhammad, Kasyf Isthilahat al-Funun, 1/269-270). Artinya, seluruh alam semesta adalah nama-nama Allah Swt. Tidak satupun butiran atom yang terbebas dari nama-nama Allah swt.
Kesadaran tertinggi semacam itu (tajalli) baru bisa diraih ketika seseorang berhasil melewati dua terminal sebelumnya, takhalli dan tahalli. Sebaliknya, kita tidak dapat menerima ada seseorang yang mengatasnamakan Tuhan, membela agama Tuhan, namun pada saat bersamaan, pikirannya, ucapannya, dan perbuatannya jauh sekali dari moral-moral agama, tidak sesuai dengan keteladanan Nabi Muhammad dan syariat Islam. Apalagi secara sosial-politik, tindak tanduk dan sepak terjangnya merugikan rakyat dan umat, pemerintahan dan negara, serta merusak citra positif agama Islam. Naudzubillah min dzalik.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon.