Menguatnya Civil Society dalam Pencabutan Perpres 10/2021 tentang Investasi Miras
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Kegaduhan publik akibat persoalan investasi minuman keras (miras) dalam Perpres No. 10 tahun 2021 telah berakhir. Presiden Jokowi mencabut Perpres tersebut dengan alasan dirinya telah menerima masukan dari ulama-ulama MUI, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan tokoh-tokoh agama lainnya. Hal ini menjadi simbol bahwa kekuatan masyarakat sipil masih hidup di negeri ini.
Sebenarnya, kegaduhan publik akibat Perpres 10/2021 tentang Badan Usaha Penanaman Modal, yang ditetapkan sejak 2 Februari 2021, adalah jebakan. Sebab, bila ditelusuri lebih jauh, ternyata memiliki akar historis yang panjang.
Salah satunya berupa Perpres Nomor 74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.
Jika Perpres 10/2021 tidak dicabut maka ia akan berperan sebagai penopang Perpres 74/2013.
Dua Perpres bagaikan gayung bersambut, sekalipun lahir dari dua generasi berbeda, namun mengusung satu spirit yang sama. Pencabutan atas Perpres 10/2021 menunjukkan bahwa Jokowi berhasil keluar dari karakteristik politik era sebelumnya.
Spirit Perpres 74/2013 secara umum melegalkan bisnis minuman beralkohol (minol). Salah satunya Pasal 4 ayat 1, 2, 3 dan 4 yang melegalkan produksi minol dalam negeri, dari hasil impor, usaha pengedaran dan bisnis perdagangannya.
Perpres 2013 ini adalah fondasi dasar bagi kepentingan kapitalisme dari hulu ke hilir, dari produksi ke distribusi, dan soal impor. Anehnya, tidak terkandung di sana Pasal dan Ayat tentang ekspor, sehingga Indonesia memang tampak dijadikan objek pasif bukan subjek aktif.
Seandainya tidak dibatalkan, maka Perpres 10/2021 secara umum akan membuka peluang investasi (penanaman modal asing), yang akan turut meningkatkan produksi minol/miras dalam negeri. Perpres ini memberikan kekuatan baru bagi produksi miras yang telah didukung oleh Perpres 74/2013. Jokowi dapat diseret ke dalam pusaran arus politik yang lebih dalam.
Jokowi terselamatkan dari jebakan politik tersebut, berkat respon positif terhadap masukan yang datang dari berbagai penjuru, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia, bahkan partai politik seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejarahtera, Partai Amanat Nasional.
Berbagai pertimbangan diajukan oleh ormas-ormas dan parpol-parpol yang peduli kepada bangsa dan negara. Argumentasi para ormas dan parpol sangat beragam, mulai dari aspek kultural, kearifan lokal, dampak negatif bagi kehidupan sosial, dan lainnya. Semua ini sejatinya satu spirit; ketulusan cinta pada negeri dan ingin meluruskan arah politik kebangsaan kita.
Misalnya, miras dan minol dianggap dapat merusak kehidupan sosial. Sekalipun sebagian kultur lokal masyarakat tertentu mentradisikan minol, tetapi tidak sampai menimbulkan kerusakan.
Kerusakan sosial akibat miras/minol lumrahnya lahir karena penggunaannya yang di luar batas-batas yang dapat ditoleransi, baik oleh kultur lokal maupun sudut pandang medis.
Hari ini Jokowi berhasil selamat.
Di masa-masa yang akan datang, peristiwa ini dapat dijadikan pelajaran bahwa hukum adalah pion dalam papan catur politik. Jika tidak berhati-hati maka akan terjerumus ke dalam jurang kehancuran. Perpres 10/2021 dan Perpres 74/2013 memang lebih tampak sebagai pion-pion dalam sebuah permainan di atas papan catur politik, lebi-lebih mendekati Pilpres 2024 nanti.