Dengan tetap mempertahankan nilai-nilai Pancasila, terlebih Sila Pertama, arah politik kebangsaan kita pasti selamat. Ada sebuah nasehat dan dawuh penting dari seorang mursyid tarekat Syadziliyah, Syeikh Prof. Dr. Ibrahim al-Battawy asy-Syadzili.
Beliau mengatakan, andaikan Islam membolehkan perzinahan dan minuman keras (khamr) maka orang-orang Barat akan berbondong-bondong masuk Islam. Dalam konteks inilah, andai tidak dibatalkan maka Perpres 10/2021 akan menjadi proyek “de-Pancasilaisasi,” penghancuran nilai Pancasila.
Begitu jelas pola permainan hukum sebagai bidak-bidak politik di atas papan catur persaingan kekuasaan. Perpres 10/2021 memang sebatas bicara investasi. Namun, bila investasi semacam itu dipijakkan pada Perpres 74/2013 maka hasilnya berupa investasi minuman keras.
Rumus matematis bagi permainan catur politik ini X + Y = Z. Kegaduhan masyarakat lahir karena membayangkan hasil akhir dari akumulasi dari dua Perpres tersebut. Puji syukur karena Jokowi telah mampu meredakan masalah.
Para elite agamawan, baik di ormas maupun parpol, telah berkomitmen kuat pada Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Presiden Jokowi membuka telinga untuk mendengarnya, lalu menggunakan tangan kekuasaannya untuk mencabut Perpres bermasalah.
Kita tahu bahwa bukan hanya agama Islam, semua agama memang tidak menganjurkan minuman keras-beralkohol ini. Alkitab misalnya menyebutkan, “anggur adalah pencemooh, minuman keras adalah peribut, tidaklah bijak orang yang terhuyung-huyung karenanya,” (Amsal, 20:1).
Agama Buddha mengajarkan lima disiplin moral, antara lain “aku bertekad melatih diri menghindari minuman keras dan obat-obat terlarang yang menyebabkan mabuk dan melemahkan (surameraya majjapamadatthana veramar sikkapadam samadiyami).”
Begitu juga agama paling tua, Hindu, mengajarkan larangan minum minuman beralkohol dan memabukkan, seperti dalam kitab Manu Smriti Bab 11 ayat 151, Bab 7 ayat 47-50, bab 9 ayat 225, Rigved Book 8 Hymn 2 ayat 12 (Republika, 1/3/2021).
Negeri kita adalah negeri Pancasila dengan seluruh nilai luhurnya. Kegaduhan publik yang sempat mencuat karena Perpres 10/2021 terlalu vulgar untuk menantang keyakinan semua umat beragama, dengan menampilkan wajah garang kepentingan kapitalisme global.
Keputusan presiden untuk mendengarkan nasehat dari para tokoh agamawan lintas keyakinan, baik yang aktif partai politik dan ormas, adalah kebijakan yang tepat. Tidak saja itu, tetapi juga menjadi simbol bahwa suara umat agama masih didengar.
Kekuatan sipil di Indonesia masih hidup dan berpengaruh besar, yang akan menjadi modal bagi Indonesia sebagai teladan kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat di dunia. Wallahu a’lam bis shawab.
*Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon.