Laporan Koresponden Tribunnews.com di Jepang, Richard Susilo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Belum lama ini seorang pejabat tinggi Pos Indonesia mengakui penghasilan PT Pos Indonesia terus berkurang dari penjualan prangko.
Tak heran kalau prangko jadi semacam "anak tiri" alias kurang menarik di kalangan pos sendiri karena semakin sedikit penggunanya.
Mengapa? Karena teknologi komunikasi kian canggih dengan hadirnya email atau surat elektronik.
Lagipula surat menyurat secara fisik merepotkan. Harga perangko pun mahal. Terutama kalau untuk pengiriman pos surat ke luar negeri, bisa menghabiskan ratusan ribu rupiah.
Namun, pengiriman EMS (Express Mail Service) salah satu produk unggulan Pos Jepang, diperkenankan 100 persen menggunakan prangko.
Baca juga: Berharganya Nilai Prangko di Jepang, Bisa Hasilkan Pendapatan Penjualan Hingga 7 Triliun Yen
Penulis sendiri sering mengirimkan EMS Jepang ke Indonesia memakai prangko agar warga di Indonesia bisa melihat negara budaya dan segala hal mengenai Jepang melalui prangko Jepang.
Banyak sekali Prangko Meter (postage meter) di jaman dulu tahun 1942 pengiriman dari kantorpos Jakarta yang menarik dengan kata-kata "Awas Mata2 Moesoeh".
Maklumlah masa perang dunia kedua. Nominal prangko tersebut 5 sen.
Lalu PM 20 Desember 1952 dengan lambang perusahaan RUYS di tengahnya nominal 502 sen.
Ada pula PM 2 sen dengan logo perusahaan ARNHEIM yang ditulis di tengahnya terbitan 20 Agustus 1931 dari kantorpos Batavia Centrum atau kantor pos Jakarta Pusat.
Pos dan Giro Indonesia pun cap meternya muncul tanggal 4 Maret 1976 (pojok kiri bawah) dengan nominal 230 rupiah.
Indonesia bisa menerbitkan PM yang menarik kalau mau dan cukup men setting angka biaya pos, keluarlah PM yang dikehendaki misalnya Rp.700.000,- tinggal masukkan angka 700.000 lalu cetak, ke luar prangko ,eter satu lembar saja Rp.700.000 untuk pengiriman surat EMS. Mudah bukan?
Mau lebih kreatif lagi dan bisa disetting di mesin PM tersebut bagian tengahnya dengan kampanye atau logo perusahaan. Misalnya kampanye "Sukseskan Pemilu" tinggal tambahkan tulisan itu di bagian tengah, seperti contoh pada gambar di sini.
Bisa juga gambar-gambar misalnya Tugu Monas di bagian tengah PM tersebut seperti logo perusahaan RUYS tersebut pada gambar di bagian tengah PM.
Artinya kita bisa promosi pula bagian dari budaya Indonesia ke luar negeri dengan gambar tersebut. Mereka orang asing akan bertanya, gambar apa tuh? Tgu Monas pun jadi terkenal di kalangan orang asing.
Sedangkan yang terjadi saat ini hanyalah menerima uang saja, pengirim surat mendapat resi kwitansi tanda terima dari petugas pos karena membayar pakai uang tunai. Dan atau juga resi EMS yang bertuliskan jumlah pembayaran biaya pos.
Apa bedanya kalau pakai prangko meter (PM)? Tinggal setting angka saja saat itu, cetak dan tempel pada surat pos ke luar negeri.
Bahkan tambah bagus karena bisa promosi berbagai hal mengenai tanah air Indonesia kepada orang asing di luar Indonesia. Tidak repot, cuma satu PM saja tinggal tempel.
Bagi kalangan pengumpul prangko (stamps collector) atau filatelis, juga ada koleksi khususnya untuk PM tersebut.
Misalnya mengoleksi PM dari puluhan propinsi di Indonesia, pasti menarik sekali karena nama kota lain-lain.
Lebih menguntungkan lagi, karena kolektor prangko biasanya tidak menggunakan prangko, hanya disimpan saja, bisa meminta dibuatkan PM dengan nominal misalnya tanggal lahir dia 15 Desember 2000 maka membeli PM dengan nominal 151200.-
Uang Rp.151.200,- ribu rupiah , yang masuk ke pos berubah menjadi PM dan dibeli serta disimpan filatelis menjadi koleksinya.
Sementara pihak Pos tidak perlu usaha apa pun, tidak perlu antar surat pos dan sebagainya, karena PM tersebut tidak digunakan filatelis. Enak bukan? Pos dapat uang, tetapi tak usah kerja mengantarkan suratpos karena PM tersebut untuk dikoleksi saja.
Artinya, tenaga pos bisa dimanfaatkan untuk tugas lain, apabila berhadapan dengan filatelis yang banyak membeli prangko hanya untuk dikoleksi saja.
Almarhum filatelis Indonesia, Tirtadinata (Thung Kim Tek) pernah mengatakan kepada Tribunnews.com, bahwa Pos sangat diuntungkan.
Tidak ada kerugian apa pun bahkan untung besar kalau semakin banyak prangko terjual kepada filatelis, karena tak perlu kerja lagi tapi sudah dapat duit.
"Jadi Pos harus berterima kasih sekali kepada para filatelis," tekannya.
Semetara kalau kita lihat internal PT Pos Indonesia pada hakekatnya memang terpecah dua. Ada bagian yang menjual prangko dan ada bagian yang terlibat langsung dengan uang saja (non prangko).
Sedangkan kedua pihak ditargetkan menghasilkan pendapatan sebesar mungkin.
Bagaimana bisa bersaing dengan baik bagian yang menjual prangko, apabila pengiriman suratpos ke luar negeri (misalnya EMS) tidak bisa pakai prangko? Kan bisa pakai PM seperti yang dijelaskan di atas.
Tidak heranlah penghasilan dari bagian yang menjual prangko terus semakin sedikit ketimbang bagian yang non-filateli atau non-prangko, langsung berhadapan dengan masyarakat yang membayar pakai uang tunai.
Apabila penggunaan prangko semakin dibangkitkan kembali, semua pihak akan mendapatkan keuntungan bersama. atau Win-Win Solutions.
Bahkan nama Indonesia semakin harum di kalangan internasional karena mereka di luar negeri dapat melihat beraneka ragam wajah Indonesia lewat prangko. Promosi yang tidak perlu keluar uang dari pemerintah tetapi sangat efektif memberikan citra positif bagi negara Indonesia di luar negeri.
Untuk diskusi filateli para kolektor prangko mungkin bisa kirim email ke: filateli@jepang.com dengan subject: Filatelis.
Bisakah kita semakin banyak menjual prangko Indonesia kepada masyarakat? Mengapa tidak bisa? Pos Jepang saja mendapatkan uang 7 triliun yen per tahun dari penjualan prangkonya saja.
Sebagai catatan, rekor paling awal dari mesin prangko atau kemunculan PM adalah oleh Prancis Carle Bushe pada tahun 1884 memperoleh Paten Inggris untuk perangkat yang akan mencetak prangko meter (PM) pada amplop dan mencatat prangko melalui alat hitung.
Tak lama kemudian, dia membentuk Perusahaan Mesin Pos Pitney, yang menjadi Perusahaan Pengukur Pos Amerika pada tahun 1912.