Memahami Absurditas
Dalam essainya “The Myth of Sisyphus” (1942), Albert Camus mendaku absurditas sebagai sesuatu yang eksis karena terdapat beberapa hal yang konfrontatif. Absurditas berada tepat di tengah kelindan kontradiksi.
Ia tampak saat kontradiksi terus diola oleh nalar dan ketika nalar tidak dapat menyatukan atau menyusun hal-hal tersebut menjadi satu pemahaman logis yang terstruktur.
Akibat dari kontradiksi yang tidak dapat diolah oleh nalar maka absurditas lahir tepat diantaranya. Jack Maden dalam artikelnya “Camus on Coping with Life’s Absurdity” (2019), menegaskan bahwa Camus percaya bahwa kisah Sisifus adalah metafora brillian dari eksistensi manusia sehari-hari.
Manusia yang setiap harinya melakukan pekerjaan yang sama selama hidupnya, memiliki nasib yang kurang lebih sama dengan absurditas Sisifus. Manusia terbangun, bekerja keras kemudian tertidur; kembali bangun, bekerja keras dan tertidur. Kebiasaan monoton ini ibarat mendorong bongkahan batu ke atas bukit, menggulirkannya ke bawah dan mendorong kembali ke atas.
Pengulangan kebiasaan duniawi seperti ini menjadi absurditas fundamental dari kondisi manusia - menganggap dirinya telah membuat banyak kemajuan - tetapi sesungguhnya sama dengan Sisifus terjebak dengan rutinitas keabadian mendorong dan menggulirkan batu secara berulang untuk selamanya.
Satu hal yang menarik dari Sisifus adalah penegasan Albert Camus mengenai usaha keras Sisifus naik turun dari bukit adalah sebuah kemenangan (triumph). Sisifus secara demonstratif memperlihatkan fakta bahwa manusia dapat hidup “dengan tekad menghancurkan nasib, tanpa menyerah”.
Sisifus menunjukkan kekuatan dan daya tahan menghadapi absurditas: ia tahu dirinya dapat menjadi tuan atas nasibnya. Kita bisa belajar dari Sisifus - bertanggung jawab atas hidupnya - menghindari solusi instan dan menerima hidup seperti apa adanya. Hanya dengan cara ini hidup akan memiliki tujuan bahkan kebahagiaan menghadapi absurditas.
Dalam mitos Sisifus, Camus menyimpulkan bahwa “the struggle itself toward the heights is enough to fill a man’s heart. One must imagine Sisyphus happy”. Camus tidak memandang kisah Sisifus sebagai kesia-siaan tanpa nilai.
Bahkan ia mengajak kita untuk melihat Sisifus - penuh kebahagiaan mengisi hatinya – dengan perjalanan menuju puncak gunung. Sisifus yang mengangkat batu adalah saat dimana manusia melakukan konfrontasi. Sisifus dan manusia sama-sama berbahagia dalam segala pencariannya.
Konfrontasi, kesedihan, perjuangan, kerinduan dan pemberontakan adalah hal yang membuat manusia hidup. Proses ini menjadikan Sisifus sebagai raja dan orang terkutuk sekaligus sebagai legenda. Kesakitan dan nilai utama dari kesakitan tersebut apa yang disebut Michaelangelo sebagai “The agony and The Ectasy”(Dika Sri Pandanari, 2020).
Dorongan Dari Dalam
Julie Beck “The Psychology of Home: Why Where You Live Means So Much” (Atlantic, 2011), menegaskan bahwa dorongan manusia untuk kembali ke tempat mereka dilahirkan adalah status ikonik tak tergantikan yang dimilikinya dan menjadi pembeda dengan tempat-tempat yang pernah dilihat dan dikunjungi.
Manusia pada dasarnya memiliki dorongan yang sama untuk menjadi bagian dari satu tempat yang membuatnya merasa eksis dan terikat kedalam dinamika pertukaran yang terus berlangsung – saling mempengaruhi satu sama lain dalam sebuah sistem tunggal yang interaktif. Menurut William S. Sax, tempat atau rumah adalah sesuatu yang datang dari dalam – bersumber dari pikiran atau jiwa - yang pada akhirnya mewarnai kepribadian. Rumah atau tempat kelahiran tidak sekadar menunjuk anda berasal dari mana tetapi siapa anda yang sebenarnya.