Frank T. McAndrew, “Home Is Where The Heart Is, but Where is Home”? (Psychology Today, 2015) menyebutkan bahwa keterikatan seseorang dengan sebuah tempat atau rumah disebut sebagai “Topophilia”, “Rotedness” atau “Attachment to Place”.
Ikatan kuat ini membuat seseorang apabila berada didalamnya akan merasa tenteram, nyaman dan damai dalam menjalani hidup, melintasi ruang dan waktu.
Dalam puisinya yang memikat, Robert Frost menggambarkan bahwa “rumah adalah tempat, saat engkau mengunjunginya, ia akan membawamu ke dalamnya”. Singkatnya, rumah, tempat kelahiran atau kampung halaman adalah penghubung utama antara manusia dan dunia di sekelilingnya.
Uraian di atas menggambarkan betapa larangan mudik adalah sesuatu yang absurd, meski bukanlah sesuatu yang sia-sia. Sikap pemerintah yang melarang mudik bagi masyarakat sementara WNA bebas masuk ke dalam negeri dimasa pandemi adalah kontradiksi yang memaksa nalar untuk bekerja.
Bagaimanapun sebagai sebuah bangsa yang sedang berjuang membangkitkan ekonominya - kehadiran WNA terlepas dari bahaya sebagai pembawa virus – mereka menjadi sumber devisa negara sekaligus menjadi simbol keterbukaan untuk saling bekerja sama dengan bangsa-bangsa lainnya.
Tekad masyarakat untuk mudik ke kampung halaman di tengah pandemi yang memungkinkan mereka sebagai pembawa virus ke seluruh negeri juga adalah sebuah absurditas.
Keinginan mereka untuk berkumpul bersama keluarga tercinta, melepas kerinduan di kampung halaman, bernostalgia dengan teman masa kecil mengalahkan keresahan akan munculnya klaster baru penyebaran virus corona. Bagi para pemudik, dihadang oleh aparat, diguyur hujan deras, diterpa debu jalanan bukanlah sebagai penghalang.
Di titik ini, mudik tidak hanya dimaknai sebagai konfrontasi, perjuangan dan kerinduan. Mudik adalah pemberontakan, sesuatu yang membuat hidup semakin hidup, sekaligus sebagai penanda bahwa kita sebagai sebuah bangsa belum menyelesaikan sebuah proyek besar yaitu menjadi Indonesia.