Dalam kerumunan di Petamburan dan Megamendung, misalnya, siapakah hadirin yang di tubuhnya telah terdapat virus Corona dan menyebarkannya ke orang-orang yang juga berada di situ.
Juga, siapakah hadirin yang semula bersih dari virus Corona namun kemudian tertular virus yang bermigrasi di tengah-tengah kerumunan tersebut.
Para pihak di ruang persidangan tidak melakukan pelacakan (tracing) tentang penularan virus Corona yang bertitik mula dari Petamburan.
Sehingga, tidak bisa dipastikan, melainkan sebatas dugaan, bahwa kerumunan Petamburan adalah episentrum bagi kenaikan positivity rate di Jakarta.
Virus Corona juga membutuhkan waktu hingga kemudian tampak gejalanya di tubuh orang yang menjadi inangnya.
Tidak serta-merta orang yang datang ke acara HRS di Petamburan akan seketika itu pula memperlihatkan tanda bahwa ia mengidap Covid-19.
Padahal, dalam rentang waktu antara acara di Petamburan (diasumsikan sebagai momen penyebaran virus) dan meningkatnya positivity rate di Jakarta.
Warga Jakarta, termasuk mereka yang datang ke acara HRS di Petamburan, bisa dipastikan melakukan kegiatan-kegiatan lain yang bisa saja menjadi sumber penyebaran virus.
Dengan kata lain, ada terlalu banyak peristiwa atau aktivitas sisipan yang berlangsung di antara acara Petamburan dan momen kenaikan positivity rate di Jakarta secara umum.
Dalam bahasa metode penelitian, ada terlalu banyak variabel ekstrane yang menyusup lalu melemahkan simpulan bahwa pastilah variabel A yang menyebabkan variabel B.
Keberadaan variabel ekstrane yang luar biasa banyak itu dinihilkan dalam persidangan. Seolah seluruh wilayah Jakarta bisa ditutup tanpa rongga sekecil apa pun dan kegiatan warga Jakarta bisa dihentikan total.
Karena itu tiada lain kerumunan HRS-lah satu-satunya faktor (variabel sebab) yang menyebabkan naiknya positivity rate (variabel akibat) di area ibu kota.
Dari kompleksitas sebab-akibat sedemikian rupa yang tidak diuji secara empiris di persidangan, penarikan simpulan yang menyalahkan HRS adalah semata-mata berdasarkan asumsi yang dibangun dari dua teori hukum di atas.
Tak dapat dielakkan, asumsi itu terbangun dari pemikiran yang terkesan terlalu sederhana (oversimplistis) tentang sebab dan akibat.