Namun fakta bahwa pihak teroris separatis semakin lihai dalam memadukan hard dan soft power dalam rangka memperjuangkan tujuan politiknya tentunya menjadi suatu tantangan yang tidak bisa dianggap remeh oleh pemerintah Indonesia.
Diplomasi Semesta Sebagai Sebuah Paradigma
Permasalahan separatisme di Papua menuntut ‘diplomasi semesta.’ Menurut mantan Gubernur Lemhannas, Budi Susilo Soepandji, diplomasi semesta mampu mengakar dalam jejaring nasional dan internasional sehingga memiliki daya gedor atau multiplier effect yang efektif.
Dalam diplomasi semesta terjadi kesinambungan pemahaman dan interaksi antara pemangku kebijakan luar negeri dan pemangku kepentingan nasional lainnya dalam menjawab tantangan eksternal geopolitik bangsa Indonesia.
Langkah pertama dalam konteks diplomasi semesta dalam menghadapi separatisme Papua adalah melakukan re-orientasi proyeksi pengaruh geostrategis Indonesia ke arah Asia Pasifik – Oceania.
Dengan populasi ras Melanesia sejumlah 13 juta jiwa yang tersebar di lima provinsi di Indonesia (Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan Nusa Tenggara Timur) – jauh lebih banyak dari total populasi negara-negara Melanesia lain di Pasifik seperti Papua Nugini, Vanuatu, Kepulauan Salomon, serta Fiji yang mencapai sekitar 10 juta orang – sudah saatnya Indonesia memainkan peran yang lebih sentral dalam memimpin bangsa-bangsa Melanesia di kawasan Pasifik.
Saat ini Indonesia adalah Associate Member dari Melanesian Spearhead Group (MSG) dan juga observer dari Pacific Islands Forum (PIF).
Indonesia tentunya menghadapi pilihan apakah akan memobilisasi sumber daya politik dan finansialnya untuk membentuk forum baru, atau memanfaatkan jaringan kerja sama yang sudah ada dalam menggolkan kepentingan Indonesia.
Dalam menempuh pilihan-pilihan tersebut diperlukan determinasi, konsistensi serta kreativitas dan inovasi. Satu hal yang pasti, Indonesia perlu terus merintis upaya untuk menjadi motor penggerak kemajuan dan suara sentral di wilayah Pasifik melalui berbagai forum.
Inovasi Duta Besar Tantowi Yahya dalam membentuk Pacific Elevation menunjukkan bahwa inisiatif non-formal yang tidak mengikat, dengan ruang diskusi dan kerjasama yang luas juga dapat menjadi alternatif model pendekatan ke Pasifik.
Isu Papua menjadi penentu dalam perhitungan proyeksi kepentingan Indonesia di Pasifik. Namun demikian, hal tersebut jangan sampai menafikan berbagai aspek penting lainnya seperti hubungan people-to-people, kerja sama ekonomi, pemanfaatan sumber daya alam dan keamanan maritim.
Dari perspektif ekonomi, skala, kapasitas dan kapabilitas Indonesia jauh mengungguli negara-negara di kepulauan Pasifik. Total Produk Domestik Bruto (PDB) Papua Nugini, Fiji, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon hanya berkisar 30 persen dari Indonesia.
Dengan kapasitas ekonomi yang besar, seluruh pemangku kepentingan di Indonesia, baik pemerintah maupun non-pemerintah, termasuk kelompok bisnis, bisa mengevaluasi kerja sama pembangunan yang selama ini sudah terjalin dengan Pasifik.
Pada tahun 2019, Pemerintah Indonesia telah membentuk ‘Indonesian AID’. Lembaga ini harus bermanfaat sebagai instrumen untuk memenuhi tujuan nasional Indonesia, khususnya dalam menjaga kedaulatan dan martabat bangsa, selain mendukung agenda pembangunan nasional dan penguatan hubungan bilateral Indonesia dengan negara lainnya.
Selanjutnya, diplomasi semesta perlu menggandeng seluruh elemen warga bangsa, utamanya pelajar dan komunitas warga negara Indonesia di luar negeri.