Kontekstualisasi Kitab Kuning dan Pembaharuan Pemikiran Kiai Imam Jazuli
Oleh: Salamun Ali Mafaz*
TRIBUNNEWS.COM - Semenjak tulisan Kiai Imam perihal pandangannya terhadap hasil Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur dan PWNU Yogyakarta perihal Kripto (cyrptocurrency) viral di jagad maya. Silih berganti tulisan tanggapan atas respon Kiai Imam pun datang, seperti dari dua penulis ternama negeri ini yaitu Kiai Mukti Ali dan Kiai Aguk Irawan. Ketiga penulis yang membahas tentang seputar perkriptoan tentu saja saya mengenalnya cukup baik, mereka lulusan Al-Azhar Kairo Mesir, mendalami kajian keislaman dan kitab kuning, dan penulis yang produktif.
Adanya respon terhadap tulisan Kiai Imam sejatinya Kiai Imam mencoba menghidupkan kembali tradisi kritik yang akhir-akhir ini mandek terutama di kalangan pesantren. Tulisan-tulisan Kiai Imam sudah tidak asing lagi saya baca, mungkin dapat jadikan rujukan dalam mensikapi suatu persoalan, selain tulisannya segar tentu saja semangat orientasi pembaharuannya menjadi pembeda dari tulisan-tulisan yang lain, salah satunya yang sedang tranding sekarang-sekarang ini perihal Kripto.
Hasil Bahtsul Masail yang berbeda antara PWNU Jawa Timur yang mengharamkan Kripto dan PWNU Yogyakarta yang memperbolehkan menjadi argumen mematikan Kiai Imam untuk mengkritisi betapa pentingnya kontekstualisasi kitab kuning saat ini dengan semangat zaman yang semakin berkembang. Pembaharuan pemikiran Kiai Imam perihal pentingnya kontekstualisasi kitab kuning tentu saja sejalan dengan ungkapan yang familiar di kalangan pesantren dan Nahdlatul Ulama yakni Al muhafadzotu ala qadimi sholih, wal ahdzu bil jadidi al ashlah, mempertahankan tradisi masa lalu yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
Diakui atau tidak, kehidupan dunia semakin berkembang, era digitalisasi sekarang telah merubah peradaban manusia dari yang kuno menjadi semakin canggih dan modern. Dalam hal transaksi misalnya, dulu kita mengenal yang namanya praktik barter yaitu pertukaran barang/jasa untuk barang dan/atau jasa yang dinginkan. Seiring berjalannya waktu, sistem barter ini digantikan dengan commodity currency yaitu pertukaran masih dengan barang namun barang tersebut harus yang diterima secara umum sebagai media pertukaran maupun standar yang bernilai seperti emas dan perak.
Dunia yang semakin berputar cepat ini membuat kebutuhan manusia semakin meningkat dan sistem barter dianggap sudah tidak lagi efisien dan dirasa tidak terukur dalam menentukan sebuah barang. Karena itulah kemudian muncul transaksi dengan menggunakan jenis uang logam, yang pada masa awal sering kita dengar berupa dinar dan dirham pada akhirnya berevolusi menjadi alat transaksi berupa bentuk uang yang terukur dengan jumlah nominal.
Bentuk uang pun yang kita saksikan sekarang berupa uang kertas dan berbentuk koin. Hadirnya uang yang memiliki standar nilai memang memberikan kemudahan dalam bertransaksi, namun seiring perjalanan perkembangan ekonomi dan teknologi penggunaan transaksi mengunakan uang ini dirasa cukup praktis hanya untuk transaksi yang nilainya kecil, dalam jumlah transaksi yang besar tentu saja kita akan mengalami kesulitan dan kerumitan, belum lagi jaminan keamanan ketika kita akan melakukan transaksi menggunakan uang cash.
Karena itulah seiring berjalannya waktu, transaksi dipermudah dengan hanya menggunakan kartu dengan sarananya berupa mesin ATM. Kemudian era digitalisasi yang semakin maju transaksi sudah lebih mudah dengan menggunakan cara digital seperti dengan menggunakan scan QR Code atau barcode. Dalam hal dunia perdaganganpun sekarang online shop lebih memudahkan konsumennya. Sebab itulah saya menyadari betul pembaharuan pemikiran Kiai Imam dalam merespon persoalan Kripto mengandung pesan pentingnya kontekstualisasi kitab kunung agar tidak terkesan jumud menurutnya. Faktanya memang demikian, teks tidak lagi dapat membendung persoalan manusia yang semakin berkembang cepat, terlebih dibarengi dengan dunia yang serba digital ini.
Dari realitas inilah, saya kira Kiai Imam hendak melakukan pembaharuan pemikiran dalam kontekstualisasi kitab kuning. Dalam bahasa pesantren, sejatinya Kiai Imam sedang melakukan ijtihad dalam mensikapi hasil hukum perihal Kripto (cyrptocurrency) yang telah diputuskan oleh PWNU Jawa Timur dan PWNU Yogyakarta. Dengan demikian, pembaharuan pemikiran Kiai Imam ini akan dijadikan tolak ukur khalayak dalam memutuskan suatu hukum yang tidak serta merta bersandarkan pada teks semata.
Dalam memutuskan suatu hukum, dikalangan Nahdlatul Ulama dikenal dengan tradisi Bahtsul Masail yang merujuk pada kitab-kitab mu’tabarah ditulis ulama-ulama ternama. Selain kitab-kitab yang berjilid-jilid, tradisi Bahtsul Masail juga mengambil rujukan dari kitab kuning yang merupakan kitab yang diajarkan di pesantren. Term kitab kuning sejatinya merupakan istilah kitab yang dikarang oleh para ulama pada masa dahulu, istilah tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning, meskipun belakang penerbit-penerbit banyak juga yang mencetaknya menggunakan kertas putih. Kitab kuning sering juga disebut di kalangan akdemisi dengan sebutan turats.
Sejarah mencatat bahwa para pengarang kitab kuning (turats) dalam memainkan perannya di panggung pergulatan pemikiran Islam tak pernah sepi dari polemik dan hal-hal yang berbau kontradiktif. Sengitnya perdebatan antara Mu’tazilah, Murji’ah, Rafidhah, dan Ahlu Sunnah yang direkam secara rinci oleh Abdul Qohir ibn Thahir ibn Muhammad al Baghdadi (w. 429/1037) dalam karyanya al Farqu bain al Firaq. Dalam buku tersebut tergambar dengan jelas kemajemukan pemahaman agama terlebih masalah akidah. Setelah melakukan pencarian dan kajian yang mendalam, akhirnya para tokoh aliran masing-masing menemukan konklusi yang berbeda-beda.
Tradisi mengkritisi dan berargumen diperlihatkan juga Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali (w.505 H) yang menggegerkan jagad filsafat dengan kitabnya Tahafut al Falasifah. Dengan sangat rasional beliau mengungkap kerancuan pemikiran para filosof terutama pemikiran al Farabi dan Ibnu Sina. Namun kritikan tajam dari Ghazali terhadap para filosof ini mendapatkan serangan balik dari Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd (w. 595 H) melalui Tahafut al Tahafut.
Tradisi perbedaan pendapat pun tumbuh baik di kalangan Imam Mazhab, perbedaan pandangan banyak terjadi antara pendiri mazhab Imam Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Imam Abu Hanifah meski begitu perbedaan diantara mereka disikapi dengan penuh kearifan. Tentu saja, dalam konteks saat ini peradaban manusia yang semakin berkembang, terlebih kebutuhan manusia yang harus diakomodir menjadi suatu keniscayaan perlunya pembaharuan dalam aktualisasi dan kontekstualisasi kitab kuning. Abu Ishaq al-Syirazi, mengatakan fiqh adalah ma’rifat al-ahkam al-syar’iyyah al-laati thariquha al-ijtihad (mengetahui atau menemukan hukum Islam dengan jalan ijtihad).
Dalam pandangan Kiai Sahal Mahfudz di dalam Fiqih sosial setidaknya mempunyai lima ciri pokok Pertama, interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual. Kedua, perubahan pola bermadzhab, dari qouli (tekstual) menjadi manhaji (metodologis). Ketiga, verifikasi mendasar untuk menemukan ajaran yang pokok (ushul) dan cabang (furu’). Keempat, fiqh dijadikan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara. Kelima, mengenalkan metodologi pemikiran filosofis, khususnya dalam aspek budaya dan sosial.
Menurut Kiai Sahal, selama ini kebanyakan masyarakat lebih memperlakukan fiqh sekedar sebagai tatanan normatif, fiqh dipahami sebagai sesuatu yang tekstual, statis dan karena itu tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Padahal, dengan memahami definisi daripada fiqh yaitu fiqh sebagai ilmun bi hukmin syar’iyyin ‘amaliyyin mukatasabun min dalilin tafshiliyyin, mengetahui hukum syariat amaliah yang digali dari petunjuk-petunjuk yang tidak bersifat global) karenanya memiliki peluang yang sangat luas untuk berjalan seiring dengan perkembangan zaman. Definisi fiqh sebagai sesuatu yang digali (al-mukatasab), menumbuhkan pemahaman bahwa fiqh lahir melalui serangkaian proses sebelum akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Proses yang kita kenal sebagai ijtihad ini bukan saja memungkinkan adanya perubahan, melainkan juga pengembangan tak terhingga atas berbagai aspek kehidupan yang selamanya mengalami perkembangan. Oleh karena itulah, Kiai Sahal menekankan bahwa fiqh adalah sesuatu yang realistis dan dinamis, sesuai dengan karakter proses ijtihadnya. Dengan wawasan ideal ini, pada waktunya akan mampu mengoptimalkan, memaksimalkan dan mengaktualkan potensi fiqh sebagai tata nilai, perilaku dan kehidupan sosial yang terus berkembang. Dengan demikian, dapat diharapkan fiqh akan mewarnai berbagai dimensi kehidupan masyarakat luas.
Di dalam kitab teori hukum Islam (ushul fikih), al Mustashfa fi ’Ilm al Ushul Imam Al-Ghazali memetakan ilmu menjadi tiga macam pertama, ilmu rasional murni (’aqli mahdh) seperti matematika (al hisab), arsitektur (al handasah) dan astrologi (al nujum). Menurutnya, ilmu jenis ini sebagian mengandung kebenaran dan sebagian yang lain hanyalah spekulasi. Kedua, ilmu yang murni hanya merujuk pada sumber-sumber terdahulu (naqli mahdh) seperti ilmu tafsir dan hadis. Dan ketiga, ilmu yang mensinergikan antara akal dan nukil, antara penalaran dan periwayatan, karena menurutnya porsi akal dan wahyu bekerja bersama, ilmu ini seperti ilmu fikih dan ushul fikih.
Pandangan-pandangan di atas tentu saja, memberikan kesadaran kepada kita betapa dinamisnya dimensi keilmuan dalam Islam. Saya tentu saja sepakat dengan tulisan Kiai Imam yang mengatakan sejatinya kitab kuning adalah produk sejarah yang sudah tentu tunduk pada hukum sejarah yang semakin berkembang, kitab kuning bersifat dinamis tidak sakral seperti halnya al-Quran dan hadis. Bahkan, seiring berjalannya waktu pun, kitab kuning menjelma menjadi kitab digital seperti maktabah syamilah.
Terlepas dari dunia perkriptoan, saya kira pembaharuan pemikiran Kiai Imam sejalan dengan pemikiran filusuf besar Ibnu Rusyd yaitu “In khalafa al’aqlu wa al-naql quddima al-‘aql bi thariq al-takhsish wa al-bayan”. Ketika terjadi pertentangan antara pendapat akal dan bunyi harfiah teks ajaran, maka yang didahulukan adalah pertimbangan akal dengan menggunakan jalan takhsish (spesifikasi ajaran) dan bayan (penjelasan rasional). Karena dunia semakin berputar cepat inilah, penting kiranya saya kira kontekstualisasi kitab kuning dalam merespon pelbagai persoalan yang ada, karena Al-Nas ‘aqil wa al-nashsh ghair ‘aqil (manusia adalah yang berakal sedangkan nash sendiri tidak berakal).
Terakhir saya ucapkan selamat dan terima kasih atas gagasan-gagasan cemerlang yang disampaikan Kiai Imam Jazuli untuk terwujudnya pembaharuan dalam pemikiran umat Islam khususnya kalangan dunia pesantren. dua jempol juga saya berikan kepada Kyai Mukti dan Kyai Aguk atas responnya yang semakin menumbuhkan tradisi kritik di pesantren. Sungkem buat kalian semuanya.
*Penulis Best Seller Novel Mekah I’m Coming, difilemkan MD Pictures dan Dapur Film.