Seketika terlintas di benaknya, suasana yang kontras saat mengunjungi Cilacap, dalam kapasitas sebagai Kepala BNPB Desember 2020. Ia melihat bakau di sana rusak dicuri tangan-tangan tak bertanggung jawab.
"Di Enggano, saya lihat mangrove-nya sangat terjaga. Tolong pak camat, jangan sampai ada warga yang menebang mangrove," pesan Doni kepada Camat Susanto.
Camat Susanto pun mengisahkan, masyarakatnya sangat menjaga hutan mangrove yang ada.
Terlebih setelah tahun 2015 datang tim LIPI ke Enggano yang juga menyampaikan pesan sama seperti yang dikatakan Doni, yakni menjaga keutuhan hutan mangrove.
Ditambah, adanya adat-istiadat warisan nenek-moyang yang memang selaras.
Adat Enggano melarang masyarakat menebang pohon bakau serta melarang warga membuka kebun yang berjarak lebih dari 3 km dari badan jalan utama.
Adat lain yang masih dijaga adalah larangan menangkap penyu pada saat pesta pernikahan atau pesta adat.
Kesepakatan itu terjaga betul berkat struktur adat yang ada di bawah kendali pemimpin tertinggi suku-suku yang ada, yang disebut Paabuki. Paabuki dipilih oleh para kepala suku untuk masa jabatan 6 tahun.
Ekosistem Mangrove
Jika menelisik dokumen penelitian LIPI di Enggano, bisa kita temukan kajian Ary Prihandyanto Keim.
Peneliti LIPI itu mengatakan bahwa ekosistem mangrove merupakan ujung tombak pelestarian Pulau Enggano. Disebutkan pula, jika mangrove rusak, maka keseluruhan ekosistem Pulau Enggano juga akan terganggu.
Selama ini, ekosistem mangrove di Pulau Enggano berfungsi menjadi benteng penahan gelombang laut.
Luas hutan mangrove keseluruhan lebih dari 1.700 hekatare.
Hasil penelitian LIPI tahun 2015 juga sudah menyebutkan kepiting, udang, ikan karang, sebagai bagian dari ekosistem mangrove Enggano.