Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Benar kata Lord Acton (1834-1902.
The power tends to corrupt, kekuasaan itu cenderung korup.
Ketika kekuasaan ada di genggaman, maka ia potensial untuk disalahgunakan.
Ujung-ujungnya korupsi. Dan hups, ada yang tertangkap!
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki kekuasaan untuk mengaudit laporan keuangan lembaga negara, termasuk kementerian dan pemerintah daerah.
Sesuai amanat Pasal 23 Undang Undang Dasar (UUD) 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan negara.
Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam melaksanakan tugasnya, BPK melakukan tiga jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Baca juga: KPK Lakukan OTT Sebanyak 145 Kali Sejak 2003, Terbaru Dilakukan Terhadap Bupati Bogor Ade Yasin
Berdasarkan UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, terdapat 4 jenis opini yang diberikan oleh BPK dalam Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah.
Pertama, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau unqualified opinion​, menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Kedua, opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau qualified opinion, menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas entitas tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan.
Ketiga, opini Tidak Wajar (TW) atau adversed opinion, menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Keempat, pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion) atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP), menyatakan bahwa auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan apabila lingkup audit yang dilaksanakan tidak cukup untuk membuat suatu opini.
Maka, banyak kepala daerah berburu WTP. Selain demi prestise untuk pencitraan politik, WTP juga penting demi mendapatkan peningkatan anggaran. Hasil evaluasi BPK terhadap pengelolaan APBD setiap daerah menjadi salah satu tolok ukur pemerintah pusat dalam mengatur anggaran daerah setiap tahun.
Supply and Demand
Sesuai hukum ekonomi, "supply and demand", para kepala daerah berburu WTP di satu pihak, dan di pihak lain auditor BPK mengobral WTP.
Di sinilah terjadi simbiose mutualisme.
Sesuai adagium Lord Acton di atas, kekuasaan itu pun dengan mudah disalahgunakan BPK. Kasus tertangkap tangannya Bupati Bogor, Jawa Barat, Ade Yasin saat menyuap auditor BPK Perwakilan Jabar adalah buktinya.
Ya, Rabu (27/4/2022) lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan kemudian menetapkan Bupati Bogor Ade Yasin sebagai tersangka kasus suap pengurusan Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2021.
Ade diduga memberi suap kepada 4 auditor BPK agar laporan keuangan Pemkab Bogor 2021 mendapat opini WTP.
KPK akhirnya menetapkan 8 orang sebagai tersangka, yakni sebagai pemberi suap adalah Ade Yasin, Bupati Bogor periode 2018-2023; Maulana Adam, Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Bogor; Ihsan Ayatullah, Kepala Sub Bidang (Kasubid) Kas Daerah Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Bogor; dan Rizki Taufik, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Dinas PUPR Kabupaten Bogor.
Lalu, sebagai tersangka penerima suap adalah Anthon Merdiansyah, Pegawai BPK Perwakilan Jabar/Kasub Auditorat Jabar III/Pengendali Teknis; Arko Mulawan, Pegawai BPK Perwakilan Jabar/Ketua Tim Audit Interim Kabupaten Bogor; Hendra Nur Rahmatullah Karwita, Pegawai BPK Perwakilan Jabar/Pemeriksa; dan Gerri Ginajar Trie Rahmatullah, Pegawai BPK Perwakilan Jabar/Pemeriksa.
Akhir Maret lalu, Kejaksaan Tinggi Jabar menetapkan satu dari dua orang pegawai BPK Perwakilan Jabar yang terjaring OTT sebagai tersangka pemerasan RSUD dan Puskesmas di Kabupaten Bekasi, berinisial AMR.
KPK sebelumnya juga mengungkap praktik jual- beli opini pada 26 Mei 2017, yang melibatkan dua auditor BPK, Ali Sadli dan Rochmadi Saptogiri. Kasus itu terkuak dalam OTT.
Ali dan Rochmadi menerima suap masing Rp 240 juta dan Rp 200 juta supaya memberikan opini WTP terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kementerian Desa tahun anggaran 2016.
Ali Sadli divonis 6 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 4 bulan kurungan pada Maret 2018, sedangkan Rohmadi dihukum 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Kasus suap auditor BPK untuk mendapatkan opini WTP juga terjadi pada 2010. Saat itu dua auditor BPK Jabar Enang Hernawan dan Suharto ditangkap KPK.
Banyaknya kasus suap yang melibatkan auditor BPK ini membuktikan bahwa isu oknum-oknum BPK mengobral opini WTP yang beredar selama ini bukan isapan jempol belaka.
*) Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media.