Secara biologis, laki itu membuahi, wanita dibuahi, sehingga ada produktifitas.
Dari sini lahir keturunan sebagai proses regenerasi dan evolusi manusia.
Sejarah berlanjut karena pasangan itu punya keturunan. Dan lahirnya keturunan ini tidak mungkin bisa terjadi pada pasangan sejenis.
Seandainya orang tua mereka penganut LGBT, maka mereka tidak akan pernah lahir.
Artinya, mereka yang memilih perkawinan sejenis tidak memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan sejarah umat manusia.
Mereka adalah kelompok manusia yang tidak memiliki tanggung jawab historisnya.
Secara ekonomi, lelaki menafkahi wanita. Keterbatasan fisik wanita dengan masa kehamilan dan melahirkan butuh sosok suami yang secara ekonomi menjamin nafkahnya.
Meski tidak sedikit wanita yang bekerja. Tapi, itu bukan fitrah kodratnya.
Mereka melakukannya untuk aktualisasi diri, untuk sebuah pengabdian, dan sebagian karena faktor terpaksa disebabkan di antaranya tidak ada yang menafkahi.
Lelaki berpasangan dengan wanita, itu pasangan normal. Pasangan natural. Satu sama lain saling mengisi dan melengkapi kekurangan masing-masing.
Secara psikologis, biologis, sosial dan ekonomi saling menyempurnakan.
Sebaliknya, laki dengan laki, wanita dengan wanita, itu tidak normal. Pasangan yang tidak bisa saling mengisi atas kelebihan dan kekurangan kodrati dari masing-masing pihak.
Tidak akan punya keturunan, rawan konflik fisik jika pasangannya sesama laki. Dan sama-sama baper jika pasangan mereka sesama wanita. Aneh jika mereka bergandengan di depan publik.
Secara ekonomi, siapa yang bertanggung jawab memberi nafkah, sehingga lebih superior dan menjadi leader dalam rumah tangga. Ini juga berpotensi jadi masalah.