Sulit membayangkan pasangan LGBT bisa langgeng. Karena itu, agama dan logika normal menolaknya.
Terjadinya pasangan LGBT umumnya ada histori yang tidak normal. Ini bisa ditelusuri dari para pelaku LGBT.
Pertama, boleh jadi karena faktor trauma dengan lawan jenis. Cinta tertolak, kemudian hilang rasa dengan lawan jenis. Ini banyak tejadi.
Kemarahan kepada "oknum" lawan jenis dilampiaskan dengan mencintai sesama. Boleh jadi juga karena trauma kekerasan seksual di masa lalunya.
Kedua, faktor bosan. Sex bebas yang dialami oleh sekelompok masyarakat membuat mereka tak lagi memiliki hasrat kepada lawan jenis. Lalu, mereka mencari sensasi baru dengan menikmatinya bersama kawan sejenis.
Ketiga, karena sejak kecil hanya bergaul dengan lain jenis, dan nyaris tidak punya relasi dengan komunitas sejenis.
Baca juga: Beda Tanggapan MUI-Muhammadiyah dengan NU soal Pengibaran Bendera LGBT di Kedubes Inggris
Pergaulan dengan lawan jenis yang terlalu lama bisa mengakibatkan hilangnya hasrat kepada lawan jenis tersebut.
Lelaki mulai melambai. Yang wanita mulai maco. Ini akibat pergaulan yang dominan di lingkungan lawan jenis.
Keempat, boleh jadi karena mereka hidup terlalu lama hanya dengan sesama jenis.
Mereka tidak punya kesempatan menaruh hasrat kepada lawan jenis.
Kehidupan di satu asrama yang ekseklusif dan dibatasi pergaulannya dengan lawan jenis, ini bisa menimbulkan hasrat kepada sesama jenis.
Tapi biasanya, hasrat ini hilang ketika kesempatan bertemu dengan lawan jenis telah dibuka.
Faktor kelainan histori ini diduga menjadi penyebab yang dominan LGBT lahir.
Jadi, tidak ada unsur genetik yang diklaim adanya kromosom X atau gen Xq28 menjadi faktor kecenderungan LGBT.