Laiknya Borobudur, situs-situs sejarah China yang terdaftar di UNESCO juga memerlukan perawatan agar tetap lestari. Tentu biayanya besar sekali.
Pemerintah China pun pernah mewacanakan penaikan harga tiket masuknya untuk menomboki.
Alasannya, jika melulu bersandar pada pembiayaan pemerintah, akan sulit untuk berkelanjutan (unsustainable).
Pada 2004, misalnya, Komite Reformasi dan Pembangunan Beijing (BMCDR) menggelar rapat dengar pendapat.
Untuk memusyawarahkan rencana penaikan harga tiket masuk beberapa warisan dunia UNESCO yang ada di Peking, seperti Istana Terlarang, Tembok Besar, Istana Musim Panas, dan Kuil Surga yang selalu sesak oleh pengunjung saban harinya, dari jam buka sampai tutup.
BMCDR beralasan, harga tiket masuknya perlu dinaikkan guna menunjukkan tingginya nilai historisitas dan manfaat tempat-tempat tersebut. Makanya, harus (di)jual mahal. Tidak boleh terkesan murahan.
Dari situ, diharapkan akan terkumpul dana yang cukup untuk menutupi kekurangan biaya konservasi --yang selama ini disusui pemerintah. Supaya selanjutnya pihak pengelolanya bisa berdikari.
Baca juga: Pernyataan Sikap Organisasi Pemuda & Mahasiswa Budhis Indonesia soal Kenaikan Tarif Masuk Borobudur
Masalahnya, di manapun, pengelola tempat-tempat bersejarah menghadapi dilema yang sama. Di satu sisi, tempat-tempat itu harus dipelihara dan perlu biaya tinggi untuk merawatnya; di sisi lain, tempat-tempat itu perlu dipromosikan ke luar untuk menarik sebanyak mungkin pengunjung dan dari sana, salah satunya, pengelola mendapatkan biaya perawatannya.
Memang, makin banyak pengunjung akan mendatangkan makin banyak pundi. Tetapi, di waktu yang sama, juga membawa efek samping bagi kelestarian tempat-tempat bersejarah yang dikunjungi --yang usianya sudah berabad-abad sehingga memerlukan perlindungan ekstra.
Edisi Mandarin harian Global Times (5/8/2005) pernah menukil penelitian yang dilakukan akademisi Free University of Brussels (VUB).
Sederhananya, studi ini menyimpulkan: suhu tubuh yang dihasilkan dari orang-orang yang berjalan di suatu tempat, mempunyai daya rusak terhadap tempat tersebut. Pasalnya, tiap kali berjalan, tubuh manusia akan melepas energi panas, uap air, dan karbon dioksida dalam jumlah yang cukup banyak.
Apalagi jika berjubel di satu tempat dalam waktu yang lama.
Tak heran bila Borobudur mengalami beragam kerusakan. Laman Kompas.id (2/3/2020) melaporkan, pijakan kaki pengunjung terus menggerus lantai dan tangga candi hingga 0,2 cm per tahun. Batuan candi jadi aus dan kini tingkat keausannya masuk kategori kritis.
“Akibat beban pengunjung,” kata Kepala Balai Konservasi Borobudur Wiwit Kasiyati (10/6/2022), “deformasi vertikal candi juga sudah mencapai 2,200 cm.” Diperparah pula oleh aksi vandalisme pengunjung yang mencorat-coret batuan candi dan membuang permen karet di lantai candi. Belum lagi karena korosi alamiah akibat cuaca dan fenomena alam yang juga tak kalah merusak.