News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

KiSSNed Soroti Tiga Pasal Kontroversial Dalam RKUHP

Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aksi unjuk rasa mahasiswa menolak pengesahan RKUHP di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Selasa (21/6/2022). Aksi tersebut untuk menolak draf RKUHP yang memuat pasal-pasal problematik, dengan mendesak Presiden Jokowi untuk membuka draf terbaru RKUHP. Forum Kajian Isu Strategis Negara Demokrasi (KiSSNed) soroti pasal-pasal dalam draf RKUHP yang dapat menimbulkan kerancuan di masyarakat, beberapa pasal bahkan berpotensi untuk membungkam demokrasi di Indonesia. Warta Kota/Henry Lopulalan

KiSSNed Soroti Tiga Pasal Kontroversial Dalam RKUHP

oleh:  Erlangga Abdul Kalam, Koordinator Forum Kajian Isu Strategis Negara Demokrasi (KiSSNed)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Kajian Isu Strategis Negara Demokrasi (KiSSNed) soroti pasal-pasal dalam draf RKUHP yang dapat menimbulkan kerancuan di masyarakat, beberapa pasal bahkan berpotensi untuk membungkam demokrasi di Indonesia.

Tiga tahun Rencana Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP) berhenti dibahas, kini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali kebut revisi RKUHP.

Wakil Menteri Hukum dan Ham (Wamenkumham) Eddy Omar Sharif Hirairej menyampaikan bahwa penargetan revisi keseluruhan RKUHP akan diselesaikan pada bulan ini, adapun target pengesahan RKUHP nya dilaksanakan pada bulan Juli. Hal itu disampaikan pada Rabu, 22/06/2022.

Seperti diketahui draf RKUHP sendiri mendapat banyak catatan, karena pasal yang terkandung di dalam draf tersebut cenderung merugikan masyarakat.

Total draf RKUHP itu berjumlah 600 pasal, RKUHP itu juga mengatur 14 isu yang sangat krusial.

Adapun beberapa pasal dalam draf RKUHP yang kini menjadi sorotan masyarakat di antaranya adalah pasal yang mengatur tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara dan Demonstrasi.

Baca juga: Norma RKUHP Dianggap Batasi Kebebasan Berpendapat, PKS Minta Pertimbangkan Aspirasi Rakyat

Hal itu terjadi karena pasal-pasal tersebut sangat populis, erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat, sehingga dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai penerima kebijakan.

Pasal pertama yang kontroversi adalah pasal 218 RKUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Berikut redaksi pasal 218 RKUHP yang tertulis:

Pasal 218 ayat 1

Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 218 RKUHP ini yang paling membuat gaduh di masyarakat. Kenapa? Karena sebelumnya pasal 218 ini sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga menjadi wajar kalau saat ini timbul kegaduhan di masyarakat.

Wamenkumham dalam wawancaranya kepada awak media menyebutkan bahwa pasal tersebut jelas berbeda dengan pasal yang dianulir oleh Mahkah Konstitusi (MK).

"Kami sama sekali tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Edy, sapaan akrabnya dalam rapat lanjutan pembahasan RKUHP di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 25 Mei 2022.

Kami yang tergabung dalam Forum Kajian Isu Strategis Negara Demokrasi (KiSSNed) kemudian melakukan kajian mendalam atas draf RKUHP tersebut, ternyata apa yang disampaikan oleh Wamenkumham terkait pasal 218 memang berbeda dengan apa yang dulu dimatikan oleh MK. Dibuktikan dengan perubahan dalam pasal itu, dari delik biasa ke delik aduan.

Pasal 218 RKUHP ini semata-semata hanya untuk menjaga harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden saja, wajar pula kalau kemudian harkat dan martabat orang nomer satu dan dua di Indonesia ini harus dijaga. Secara subtantif kami juga melihat bahwa pasal ini tidak membatasi ruang rakyat untuk menyampaikan kritik.

Kritik yang membangun itu pasti berangkat dari penyampaian tutur kata yang baik, kalau dengan bahasa yang sarkas itu jatuhnya memang hinaan. Karenanya kami menilai bahwa pasal ini sah-sah saja dimasukan ke dalam RKUHP.

Meskipun secara penjelasan di dalam draf pasal 218 ini sudah berbeda, tapi seringkali secara kontekstual dalam pelaksanaan dilapangan suka berbeda. Ini yang kadang suka buat kita dilematis, tapi tinggal kita kembalikan saja tahap peroses pelaksanaannya nanti ke penegak hukum.

Baca juga: Draf RKUHP Belum Dibuka ke Publik, Ini Alasan Wamenkumham

Pasal kedua yang masuk dalam sorotan kami adalah pasal 353 RKUHP yang mengatur mengenai Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara sekaligus pasal 354 mengenai Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara melalui Media Elektronik dengan ancaman 1 tahun 6 bulan. Sengaja kami satukan dalam penyebutan, karena secara subtantif memiliki kesamaan.

Pasal 353 dan 354 ini terindikasi membungkam ruang demokrasi, terlihat dari bunyi pasalnya yang sangat anti kritik. Bagaimana mugkin perubahan Negara itu tercipta jika instansi atau lembaganya anti terhadap kritik? Bukankah kita sama-sama mengiginkan menjadikan Negara ini sebagai Negara yang maju? Kalau mau maju, tentu harus ada perbaikan yang dilakukan dan perbaikan itu berangkat dari kritikan. Istrumennya memang seperti itu.

Selain itu pasal 353 dan 354 RKUHP ini terlihat sangat abstrak dan sangat multitafsir sekali, tidak jelas individunya siapa yang merasa terhinakan.

Lain hal nya dengan pasal 218 RKUHP, dimana itu ditunjukan untuk menjaga harkat dan martabat pribadinya, bukan kepada instansi atau lembaga Negara.

Secara sadar keberadaan pasal 353 dan 354 RKUHP ini juga akan mengikis ruang demokrasi kita secara perlahan, karena masyarakat tidak bisa mengkritik instansi atau lembaga baik secara langsung atau melalui media sosial.

"Anggap saja hinaan itu sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang masyarakat terhadap lembaga Negara. Artinya masyarakat masih peduli dan percaya terhadap instansi kepemerintahan."

Baca juga: Aktivis HAM Minta DPR Lebih Aktif saat Bahas RKUHP Bareng Pemerintah

Karena pasal 353 dan 354 ini berpotensi karet, abstrak dan multitafsir yang nantinya bisa saja digunakan sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan, maka kami menyarankan ada baiknya untuk pencegahan kesewenang-wenangan pasal 353 dan 354 RKUHP itu dihapuskan, karena tentu saja secara logis pasal tersebut tidak lagi sehat.

Berikut redaksi pasal 353 dan 354 RKUHP yang tertulis:

Pasal 353

1. Setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

3. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.

Pasal 354

Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

Pasal ketiga yang menjadi sorotan kami adalah pasal 273 RKUHP yang mengatur tentang Demonstrasi.

Pasal 273 RKUHP ini tentu bagi kami sangat memberatkan, terlebih lagi bagi mahasiswa yang memang berperan sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah. Bukankah demonstrasi itu juga merupakan bagian dari kepentingan umum?

Selain itu, bagi kami pasal 273 RKUHP ini juga berlawanan dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Meskipun selintas jika diperhatikan skemanya sama, hanya beda pada penambahan penekanan pidananya saja.

Tanpa adanya pasal 273 RKUHP saja tidak bisa menjamin bahwa sebuah aksi demonstrasi berjalan aman, buktinya bisa kita lihat dengan masifnya refresifitas bahkan penangkapan yang dilakukan oleh pihak keamanan terhadap massa demonstrasi dalam lima tahun terakhir ini.

Baca juga: Polemik RKUHP: Dinilai Ancam Kebebasan Berpendapat Terutama Pengguna Medsos

Disaat yang bersamaan, pasal 273 RKUHP ini juga membuat Indonesia semakin terang benderang membuktikan bahwa sudah dibungkamnya ruang demokrasi rakyat.

Berikut redaksi pasal 273 RKUHP yang tertulis:

Pasal 273 pihak yang melakukan unjuk rasa, pawai atau demonstrasi di jalan tanpa pemberitahuan dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dipidana penjara paling lama 1 tahun.

Satu hal yang harus dipahami bahwa adanya demonstrasi tidak tiba-tiba terjadi, demonstrasi berangat dari forum-forum diskusi. Maka wajar saja kalau aksi demonstrasi terkadang berjalan spontan. Secara sederhana demonstrasi itu diakibatkan karena bobrok dan gagalnya instansi pemerintah sebagai pengatur kebijakan. Maka kalau mau diancam, ancamlah mereka yang gagal dalam mengurus Negara dan membuat gaduh di masyarakat, jangan yang menebar kepedulian terhadap rakyat.

Ingat dari nama saja sebetulnya sudah jelas artinya, DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat, maka regulasi yang dibuat juga harus berpihak kepada rakyat. Bukan sebaliknya.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka kami (KiSSNed) berharap kepada DPR untuk mencabut pasal 353, 354 dan 273 RKUHP ini, karena jelas sangat berpotensi mengekang masyarakat dalam menyampaikan aspirasi yang tentu saja muaranya akan menghambat proses menuju Indonesia maju.


Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini