Oleh: Dr Anwar Budiman SH MH
TRIBUNNEWS.COM - Bak menghadapi buah simalakama: dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati.
Itulah dilema yang dihadapi hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dilema itu mencuat usai pencopotan Aswanto dari jabatannya sebagai hakim konstitusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Oleh DPR, Aswanto digantikan dengan Guntur Hamzah, Sektetaris Jenderal MK.
Pergantian Aswanto dengan Guntur Hamzah disahkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023, Kamis (29/9/2022).
Menurut Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, Aswanto digantti karena kerap menganulir produk legislasi yang dibuat oleh DPR. Padahal, ia merupakan hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR.
Salah satu undang-undamg (UU) yang dianulir Aswanto adalah UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja telah mengalami "judicial review" atau uji materi di MK, dan pada 25 November 2021, MK menjatuhkan putusan perkara Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang Undang Dasar (UUD) 1945 melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam amar putusan dinyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan." UU No 11 Tahun 2020 itu oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat
Ada 3 institusi darimana hakim konstitisi berasal: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiganya adalah cabang-cabang kekuasaan dalam trias politika yang melakukan kontrol dan perimbangan satu sama lain. Check and balances!
Dari 9 hakim konstitusi yang ada di MK, 3 berasal dari pemerintah, 3 lainnya berasal dari DPR, dan 3 sisanya berasal dari Mahkamah Agung (MA). Hal ini diatur dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.
Dengan demikian, hakim konstitusi seolah-olah merupakan kepanjangan tangan dari eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Padahal sebenarnya tidak demikian.
Aturan pengisian jabatan hakim MK dari tiga cabang kekuasaan, yakni Presiden, DPR dan MA sesungguhnya bukanlah ditujukan untuk mewakili kepentingan institusi-institusi tersebut, melainkan untuk memastikan independensi, integritas, dan kontrol berlapis bagi keberadaan MK dalam rangka "check and balances".
Begitu masuk MK, hakim-hakim itu menjadi "milik" MK yang independen. Apalagi jika dikaitkan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka.