News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Simalakama Hakim MK

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr Anwar Budiman SH MM MH, dosen Pasca-Sarjana Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta.

Hakim harus merdeka atau independen dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Tak boleh ada intervensi dari kekuasaan mana pun. 

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan sifat dan karakter kekuasaan kehakiman dengan menyatakan, “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan."

Independensi kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat mutlak bagi tegaknya hukum dan keadilan.

Tanpa independensi kekuasaan kehakiman, dapat dipastikan jaminan terwujudnya hukum dan keadilan tidak mungkin tercapai.

Sesuai UU MK terbaru, yakni UU No 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Aswanto sedianya pensiun pada 2029 ketika usianya menginjak 70 tahun. Namun, mengapa baru 63 tahun ia sudah dipaksa pensiun oleh DPR?

Sekali lagi, Aswanto dianggap kerap menganulir undang-undang yang merupakan produk DPR bersama pemerintah.

Contohnya dalam memutus uji materi UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut. Akhirnya Presiden Joko Widodo pun mengamini pencopotan Aswanto itu dengan menyatakan semua pihak harus taat hukum. 

Sebenarnya tidak hanya Aswanto. Dari 3 hakim konstitusi yang berasal dari DPR hanya Arief Hidayat yang memberikan "dissenting opinion" atau pendapat berbeda.

Sedangkan Wahiduddin Adams, hakim konstitusi yang juga berasal dari DPR, sependapat dengan Aswanto dalam memutus perkara UU Cipta Kerja.

Mengutip pendapat mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie, cara DPR memberhentikan Aswanto menabrak aturan.

Berdasarkan Pasal 23 ayat (4) UU MK, pemberhentian hakim konstitusi harus berasal dari Ketua MK, demikian juga prosedur pengangkatan hakim konstitusi baru.

Di sinilah buah simalakama itu. DPR menganggap Aswanto merupakan kepanjangan tangan legislatif di yudikatif.

Padahal DPR mengajukan 3 hakim konstitusi ke MK itu hanya bersifat administratif saja, menjalankan amanat Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.

Di sisi lain, Aswanto juga berpegang pada Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini