Al-‘Ajl mengatakan: “saya berpendapat, masalah pajak bisa dibagi menjadi dua macam; adil seperti ajaran syariat dan tidak adil, karena tidak mungkin seluruhnya tidak adil. Pajak yang dikumpulkan dan didistribusikan secara adil, maka tidak boleh menolak bayar pajak.”
Kemudian, Al-‘Ajl menambahkan: “sementara pajak yang tidak adil, yang tidak memenuhi syarat-syarat syar'i maka menolak bayar zakat memang tidak akan mendapatkan siksa di akhirat kelak. Tetapi, perlu ada perhatian penuh terhadap dampak-dampaknya di dunia, karena menolak bayar pajak mengandung mafsadat.”
Mafsadat ini, menurut al-'Ajl, bisa individual atau massif. Karenanya tidak boleh tidak bayar pajak, dalam rangka menghindari mafsadat yang ditimbulkan. Pendapat Al-‘Ajl yang paling keras adalah: “perlu adanya keputusan jasmani yang mendesak atau keputusan finansial, seperti dipenjarakan atau denda berupa harta yang bisa dipakai untuk mengatasi mafsadat menolak bayar pajak.”.
Dari pendapat kitab-kitab kuning di atas, hemat penulis adalah bahwa Nahdliyyin tidak perlu mengikuti fatwa ulama manapun yang menyerukan boikot pajak, bahkan bila pajak itu tidak adil. Nahdliyyin harus tetap taat pada keputusan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf yang meminta semua warga Nahdliyyin khususnya dan rakyat Indonesia umumnya untuk tetap taat bayar pajak.
Apa yang sudah menjadi Seruan Gus Yahya dan PBNU adalah pandangan yang paling cocok dengan tradisi pesantren, yaitu berpijak pada dalil-dalil kitab kuning. Tidak saja itu, seruan PBNu jauh lebih halus dibanding dengan kitab kuning, karena kitab kuning mendorong otoritas untuk menjatuhkan hukuman penjara ataupun denda uang kepada para penyeru boikot pajak. PBNU hanya mengajak agar tetap taat pajak, tanpa seruan memenjarakan orang.
Seruan Gus Yahya dan PBNU sudah sejalan juga dengan dalil kaidah fikih yang mengatakan: "idza ijtama'a as-sabab wa al-mubasyarah, quddimat al-mubasyarah" (apabila sebab dan dampak langsung berkumpul, maka yang diutamakan adalah dampak langsungnya).
Kita bisa mengatakan: “sebab” adanya penyelewengan pajak adalah warga yang bayar pajak. Sehingga, agar penyelewengan tidak terjadi, maka warga tidak perlu bayar pajak. Sedangkan dampak langsung, kita bisa mengatakan: “pajak berdampak langsung pada pembangunan negara. Tanpa pajak tidak ada pembangunan.” Dari dua prinsip ini, maka prinsip terakhir yang dipilih. Karenanya, siapapun pemimpinnya, bayar pajak tetap wajib. Inilah keputusan PBNU. Wallahu a’lam bis shawab.[]
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_