Oleh : Widdi Aswindi
TRIBUNNERS - “Pada mulanya adalah firman,”bunyi sebuah ayat pada Injil Yohanes. Entah menjadi inspirasi mereka atau tidak, dua penyair fenomenal Indonesia yang tak akan tergantikan, seolah menimpalinya dengan nada bersetuju.
“Sebermula adalah kata,” kata penyair Sapardi Djoko Damono dalam sajaknya “Dalam Bis”. Penghayat kata-kata lainnya, Subagio Sastrowardoyo, dalam puisinya bilang, “Asal mula adalah kata. Jagat tersusun dari kata…”
Bila "Firman" dalam kalimat itu konon terjemahan dari “logos”, rasanya tidak terlalu melenceng bila kita pun bisa mengatakan: “sebermula adalah gagasan”, “Pada mulanya adalah ide”.
Firman-kata-gagasan-ide, semua merujuk pada arah yang sama, meski barangkali satu sama lain memiliki tingkatan yang agak berbeda.
Saya sekelebat teringat akan firman-kata-gagasan yang kita bicarakan di atas, segera setelah saya memirsa wawancara eksklusif Tribun-Network dengan Anies Baswedan, yang diunggah di saluran You Tube media tersebut sekitar sepekan lalu.
Dalam sebuah kesempatan di wawancara sepanjang 39 menit tersebut, Anies sempat mengupas hal menarik, yakni tentang niscayanya kita semua memperhatikan dua hal paling utama dari seorang (calon) pemimpin: gagasan dan rekam jejaknya.
Menarik saat Anies mengajak kita semua berpikir serius, dengan sebuah pertanyaan yang mempertanyakan.
Baca juga: PKS Buka Peluang Cawapres untuk Anies Baswedan dari Eksternal demi Topang Kemenangan di Pilpres
“Mengapa, ketika kita ingin menjadikan Indonesia lebih baik, tetapi di saat kita memilih pemimpin, kok kita, bahkan media massa, hanya melihat angka survey? Kita tak pernah melihat apa gagasan dia, bagaimana rekam jejak dirinya…”. Kira-kira begitu yang Anies sampaikan.
Mengapa pertanyaan itu langsung membawa benak saya mengembara kepada ingatan akan bacaan soal firman dan gagasan, yang telah lama terpendam aneka pengalaman hidup lainnya itu?
Karena Anies benar. Dua hal itulah, gagasan dan rekam jejak, memang kunci bagaimana kita melihat kredibilitas dan kapabilitas seorang (calon) pemimpin.
Islam memberikan perspektif yang jelas tentang hal itu. Rekam jejak adalah hal paling penting untuk mengukur seberapa seseorang “amin” (melaksanakan amanah).
Sementara gagasan, ide yang ia yakini, adalah pranata paling sah untuk mengukur seberapa “qowiyyu” (kuat, mampu, danprofesional) seseorang.
Dalam manajemen modern pun, yakni dari perspektif kepemimpinan strategis, gagasan merupakan prasyarat yang bisa menunjukkan apakah seseorang memilkiki kapasitas strategis atau tidak.
Sedangkan rekam jejak bisa dengan lebih tepat memberikan kepastian integritas seorang pemimpin.
Lebih jauh lagi, pada gilirannya menjalankan amanah, sisi gagasan akan menentukan kapabilitas pemimpin dalam mengelola input sumber daya di lingkungan yang dipimpinnya.
Sedangkan sisi rekam jejak akan menjadi kekuatan dalam menjalankan proses-proses dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi kepemimpinan yang ia jalankan.
Pada tempatnya bila kita mengulang pernyataan seorang mahaguru manajemen, Peter Drucker, yang menyatakan, manakala kita melihat perusahaan-perusahaan besar yang maju dan unggul, bisa dipastikan ada keputusan-keputusan berani dan cerdas di belakang semua itu.
Drucker percaya, keberanian yang dilandasi gagasan kuatlah yang membawa manusia kepada kemaslahatan dan kebaikan bersama.
Dari petikan puisi almarhum WS Rendra kita pun tahu bahwa keberanian itu memberi cakrawala. Bahkan, keberanian itu sendiri pun merupakan cakrawala.
“There is one thing stronger than all the armies in the world, and that is an idea whose time as come. Ada satu hal yang lebih kuat dari semua tentara di dunia, dan itu adalah ide pada saatnya tiba,”kata pengarang Prancis terkemuka di era klasik, Victor Hugo.
Tentang betapa kuatnya gagasan, sebagai contoh sederhana barangkali kita bisa menunjuk filsuf dan sejarawan terkemuka era modern, Isaiah Berlin.
Selain pernah membuat buku khusus “The Power of Ideas”, Berlin sempat mengingatkan kita akan kuatnya gagasan, ide. “Lebih dari seratus tahun lalu,”kata Berlin pada 1958, “penyair Jerman, Heine, memperingatkan orang Prancis untuk tidak meremehkan kekuatan gagasan: konsep filosofis yang dipelihara dalam keheningan studi seorang profesor punya daya untuk menghancurkan peradaban.”
Akan halnya rekam jejak, Albert Schweitzer, seorang penerima Nobel Perdamaian, pernah menyatakan bahwa kepemimpinan sejatinya adalah jejak yang ditapakkan di bumi.
Dengan jejak itu orang-orang bisa memperhatikan lebih cermat apa yang pernah ia lakukan selama memegang amanah kepemimpinan. Bagi Schweitzer, kepemimpinan sangat dekat kepada urusan tentang memberikan contoh teladan.
Mungkin karena Schweitzer seorang humanis, baginya rekam jejak itu pun berkaitan dengan gembur atau kerasnya hati pemimpin berkaitan dengan rakyatnya. Karena itulah, sejarah kemudian banyak mencatat pemimpin yang peduli rakyatnya sebagai orang besar.
Mereka, orang-orang terpilih, tahu pasti bahwa persoalan rakyat seharusnya diletakkan lebih tinggi dari sekadar diri dan kelompoknya.
Figur-figur sejarah seperti Umar bin Khattab, yang diceritakan kerap melakukan inspeksi sendirian malam-malam, guna mengetahui nasib rakyatnya. Atau dalam konteks yang lebih kekinian, di awal abad 20, seperti Presiden AS, Theodore Rossevelt, yang karena hobinya menyelinap malam-malam untuk menemani para polisi bertugas, para tentara berjaga, ia dikenal di AS sebagai Harun Al Rosevelt, merujuk khalifah berbudi Harun Al Rasyid.
Anies sudah mengajak kita untuk bijak memilih pemimpin demi Indonesia yang lebih baik. Selebihnya adalah giliran kita. [ ]