Oleh : Totok Sucahyo *)
PEMILIHAN umum merupakan puncak terpenting dari demokrasi. Inilah momentum satu-satunya bagi setiap warga negara untuk menggunakan hak demokrasi mereka: memilih pemimpin eksekutif maupun perwakilan mereka di legislatif.
Berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 akan menjadi hajatan bersejarah.
Ini karena untuk kali pertama Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) digelar serentak. Menyusul kemudian Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang juga digelar serentak di pengujung tahun.
Pada 14 Februari 2024, pemungutan suara akan dilakukan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota.
Sedangkan pilkada untuk memilih para kepala daerah, provinsi maupun kabupaten/kota, akan dilaksanakan serentak pada 27 November 2024.
Penyelenggaraan pilkada serentak 2024 diatur dalam Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Undang-Undang (UU) ini merupakan perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU. Pasal dan ayat dimaksud menyebutkan, pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah NKRI dilaksanakan pada November 2024.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, dalam kegiatan Seminar Nasional Program Studi Hukum Magister (PSHPM) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) pada Desember 2022 menjelaskan, pelaksanaan pemilu dan pilkada secara serentak tersebut diharapkan dapat menciptakan efisiensi dalam beberapa hal.
Pertama, pemilu serentak diharapkan dapat menghemat penggunaan uang negara untuk pembiayaan penyelenggaraan pemilu. Dengan begitu, anggaran negara hasil penghematan itu dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan negara dalam mencapai tujuan negara lainnya, utamanya memajukan kesejahteraan rakyat.
Baca juga: Presiden Jokowi Cawe-Cawe di Pemilu 2024, Muhammadiyah: Pejabat Harus jadi Wasit yang Adil
Kedua, pemilu serentak diharapkan dapat mengurangi pemborosan waktu, juga mengurangi konflik atau gesekan horizontal di dalam masyarakat. Pilpres dan pileg yang digelar serentak juga dapat menjadi sarana pendidikan politik (political education) bagi masyarakat. Khususnya terkait penggunaan hak pilih secara cerdas, karena setiap warga negara bisa turut andil dalam membangun peta checks and balances dari pemerintahan presidensiil dengan keyakinannya sendiri.
Kekosongan Kepala Daerah
Berkenaan penyelenggaraan pilkada serentak, salah satu dampak yang muncul adalah hadirnya pelaksana jabatan kepala daerah. Diketahui, terdapat 101 kepala daerah di seluruh Indonesia yang masa jabatannya berakhir pada 2022.
Disusul 170 kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2023, ditambah lagi dengan kepala daerah yang baru menjabat dari hasil Pilkada 2020 dan akan menyudahi masa jabatan pada 2024. Daerah-daerah tersebut dipastikan mengalami kekosongan kepala daerah.
Untuk mengisi kekosongan itu, Pasal 201 Ayat (9) UU 10/2016 mengamanatkan untuk menunjuk Penjabat (Pj.) Kepala Daerah setelah berakhirnya masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan, sampai dengan pelaksanaan pilkada serentak 2024.
Selanjutnya, dalam menjalankan tugas dan kewenangan pemerintahan daerah, Pj. Kepala Daerah tersebut akan memiliki kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif pilihan rakyat.
Skema penunjukan Pj. Kepala Daerah tersebut memancing reaksi negatif dari berbagai kalangan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyorot tajam proses penentuan Pj. Kepala Daerah yang tidak diselenggarakan secara akuntabel dan demokratis.
Kedua organisasi tersebut beranggapan, proses penentuan Pj. Kepala Daerah tidak mencerminkan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya asas keterbukaan, asas profesionalisme, dan asas akuntabilitas.
Proses penunjukan Pj. Kepala Daerah juga dinilai sarat dengan aroma konflik kepentingan. Tidak hanya dalam proses penunjukannya.
Kewenangan Pj. Kepala Daerah juga dinilai kelewat berlebihan oleh banyak pengamat.
Hal ini terlihat dari diberikannya kewenangan kepada Pj. Kepala Daerah untuk memberhentikan, mengangkat, memutasi, mengganti Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 821/5492/SJ tanggal 14 September 2022.
”Surat Edaran yang dikeluarkan Mendagri tersebut berpotensi disalahgunakan oleh pejabat yang sebenarnya tidak memiliki hak dan mandat dari rakyat, karena mereka dipilih oleh Mendagri.” Itu pendapat yang diungkap dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Khoirul Umam, seperti dilansir Tempo (16/09/2022).
Di sisi lain, tidak sedikit anggapan, skema Pj. Kepala Daerah justru memberikan dampak positif bagi masyarakat. Banyak peneliti mengungkapkan, pilkada di Indonesia sarat dengan praktik korupsi dan politik uang (Platzdasch, 2011; Mietzner, 2010).
Baca juga: Mendagri: Pj Kepala Daerah Punya Legitimasi Kuat Karena Ditunjuk Presiden
Sudah begitu, ditemukan banyak bukti empiris bahwa para kandidat kepala daerah kerap kali menggunakan kewenangan anggarannya untuk mendanai kampanye. Hal itu utamanya terjadi bila terdapat calon petahana (incumbent) pada pilkada tersebut (Mietzner, 2013; Permadi, 2021).
Dampak positifnya, Pj. Kepala Daerah yang ditunjuk merupakan birokrat aktif yang tidak terafiliasi dengan partai politik. Sehingga, pengangkatan Pj. Kepala Daerah sangat mungkin dapat meminimalkan potensi adanya penyalahgunaan anggaran untuk kepentingan pilkada. Sesuai ketentuan, Pj. Gubernur akan diisi oleh ASN dengan pangkat minimal pimpinan tinggi madya atau setara eselon I, atau setara Jenderal Bintang Dua untuk TNI/Polri.
Sedangkan untuk Pj. Bupati atau Wali Kota akan diisi oleh ASN dengan pangkat pimpinan tinggi pratama atau setingkat eselon II, atau setara Jenderal Bintang Satu untuk TNI/Polri.
Hak Otonom Mengatur Pemerintahan
Dampak positif yang lain, pengangkatan Pj. Kepala Daerah juga dipercaya dapat menyederhanakan proses birokrasi dan memperlancar koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Ini karena – dalam sistem desentralisasi – kepala daerah memiliki hak otonom untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Utamanya terkait pengalokasian anggaran sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah.
Namun kebebasan tersebut sering kali tidak produktif karena adanya ketidaksinkronan dengan kebijakan pemerintah pusat. Hadirnya Pj. Kepala Daerah yang ditunjuk Mendagri – yang notabene birokrat dari pemerintah pusat – diharapkan mampu mengurangi ketidaksinkronan tersebut. Sehingga setiap kebijakan yang diambil dapat dirasakan manfaatnya secara optimal oleh masyarakat.
Jadi? Pemilu dan pilkada serentak 2024 akan menjadi sejarah baru bagi bangsa Indonesia.
Perhelatan demokrasi lima tahunan tersebut memang selalu menarik dikaji dan dijadikan bahan diskusi. Salah satunya terkait kebijakan pengangkatan ratusan Pj. Kepala Daerah untuk mengisi kekosongan kekuasaan di daerah. Kendati banyak yang mengkhawatirkan hal-hal negatif dari kebijakan tersebut, faktanya ada pula potensi hal baik yang dapat dicapai.
Karena itu, pemerintah harus benar-benar memilih sosok yang tepat dan terukur, serta terbebas dari kepentingan politik. Sementara, Pj. Kepala Daerah yang dipilih harus memiliki kemampuan sebagai pemimpin dengan kompetensi sosial-kultural yang tinggi, mampu melanjutkan program pembangunan daerah dan menjaga netralitas dalam birokrasi.
Komitmen dan totalitas dalam mengerjakan dalam tugas-tugasnya sebagai pimpinan kendati mereka hanya bertugas selama beberapa tahun saja, merupakan harapan utama dari seluruh rakyat yang dipimpinnya. Ini urgen, karena jika tugas-tugas itu hanya dijalankan seadanya dan (apalagi) ala kadarnya, rakyat juga yang pada akhirnya bakal dirugikan.
Akhiran, siapa pun Pj. Kepala Daerah yang diangkat, semoga benar-benar amanah dalam menjalankan tugas sehingga roda pemerintahan terjaga dengan baik, utamanya terkait dengan ritme pelayanan kepada publik. Hanya dengan begitu, kehadiran sang penjabat akan lebih bermakna anugerah, ketimbang musibah.
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta