News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

International Youth Day 2023: Keberlanjutan Generasi dan Bumi

Editor: Content Writer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan tanggal 12 Agustus sebagai Hari Remaja Internasional atau ‘International Youth Day’.

oleh Asep Sopari, S.Pd, M.Sc

Analis Kebijakan Ahli Madya dan Ketua Pokja Inovasi Program pada Direktorat Bina Ketahanan Remaja, BKKBN

Hari ini merupakan hari istimewa bagi kita semua, terutama bagi para remaja di seluruh dunia, tidak terkecuali remaja di Indonesia. Tepat 24 tahun lalu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengesahkan tanggal 12 Agustus sebagai Hari Remaja Internasional atau ‘International Youth Day’.

Meskipun tidak banyak yang tahu tentang hari istimewa ini, termasuk di kalangan remaja sendiri. Pengesahan tersebut menunjukkan pengakuan para pemimpin dunia atas keberadaan dan peran penting remaja, tidak sekadar dalam pembangunan, tetapi juga keberlanjutan generasi dan bumi yang kita tinggali.

Remaja dalam persepektif kependudukan

Setidaknya ada tiga peran penting remaja dalam persepektif kependudukan. Pertama, remaja merupakan calon penduduk usia produktif sehingga harus dipersiapkan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas agar dapat berperan sebagai aktor/pelaku utama pembangunan. Ini berarti remaja harus sehat fisik dan mental, memiliki pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan memiliki karakter berpondasikan agama dan budaya.

Kedua, remaja merupakan calon pasangan dan calon orangtua sehingga harus disiapkan agar dapat membangun keluarga yang berkualitas dan melahirkan generasi yang juga berkualitas. Ini berarti setiap remaja harus memahami kesehatan reproduksi, gizi, dan kesiapan kehidupan berkeluarga untuk memastikan tercukupi kebutuhan gizinya, tidak terburu-buru ingin menikah, tidak melakukan perilaku berisiko yang dapat menyebabkan terjadinya kehamilan di usia muda, yang tidak hanya akan berdampak buruk pada dirinya, tapi juga pada generasi yang dilahirkannya.

Ketiga, remaja merupakan pewaris alam/lingkungan kepada anak-cucunya sehingga harus dapat menjamin keberlanjutan kehidupan generasi berikutnya, atau dengan kata lain harus dapat mewariskan alam/lingkungan yang masih layak untuk ditinggali oleh anak-cucunya. Ini berarti remaja dituntut untuk memiliki green skills, yaitu pengetahuan, kemampuan, nilai, dan sikap yang diperlukan untuk hidup, berkembang, dan mendukung masyarakat yang berkelanjutan dan hemat sumber daya (PBB, 2023).

Tantangan dalam pembangunan remaja

Jumlah remaja di dunia sekitar 1,2 milyar atau sekitar 18 persen dari total penduduk penghuni bumi (WHO, 2022). Dalam skala nasional, jumlah penduduk usia 10 – 24 tahun sebesar 66,74 juta jiwa atau 24,2 persen dari 275,77 juta total populasi pada tahun 2022 (BPS, 2023). Namun kita menghadapi tantangan dalam pembangunan remaja.

Menurut laporan PBB, di dunia ada sekitar sekitar 600 juta remaja perempuan “menghilang” dari agenda pembangunan karena menghadapi banyak kerentanan seperti ketidaksetaraan gender, kekurangan gizi, pernikahan anak, dan kehamilan usia remaja. Kiprah mereka sebagai pelaku/aktor dalam pembangunan akan terancam karena faktor-faktor tersebut.

Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2022 masih ada 8,06 persen pernikahan usia anak dari seluruh kasus pernikahan yang tercatat (BPS, 2022). Mahkamah Agung juga mencatat ada 54.894 kasus permohonan dispensasi nikah karena pernikahannya dilakukan di usia anak (Mahkamah Agung, 2021). Tidak heran jika masih ada kelahiran pada perempuan di usia yang masih muda.

Terdapat 26 – 27 perempuan usia 15 – 19 tahun yang melahirkan di antara 1000 perempuan usia 15 – 19 tahun di Indonesia (BPS, 2023). Bahkan data menunjukkan terjadi kelahiran pada usia yang semakin muda: terdapat 0,179 kelahiran per 1000 perempuan usia 10 - 14 tahun (Bappenas, 2023). Padahal kita semua tahu bahwa perempuan yang hamil dan melahirkan di usia kurang dari 20 tahun memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk melahirkan anak dengan kondisi stunting.

Kita semua juga tahu bahwa stunting berkontribusi pada rendahnya kualitas SDM karena tidak hanya mengakibatkan gagal pertumbuhan, tetapi juga perkembangan kecerdasan yang tidak optimal. IQ anak stunting akan turun 15 – 20 poin (penelitian Grantham-McGregor, 1987), 65 persen IQ mereka terbentuk kurang dari 90 dan hanya mampu sekolah sampai SMP (penelitian Waber, 2014).

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini