Dua hari sesudah peristiwa itu, Israel menggempur Lebanon. Belakangan diketahui, upaya pembunuhan itu dilakukan kelompok Abu Nidal yang jadi rival PLO.
Dua bulan peperangan, dicapai gencatan senjata yang disponsori AS. PLO setuju Lebanon Selatan diawasi pasukan internasional.
Sementara Israel setuju tidak menyerang lebih jauh ke Beirut, dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang tertinggal di kamp- kamp pengungsi.
Pada 23 Agustus 1982, Bashir Gamayel, tokoh popular Maronit, terpilih menjadi Presiden Lebanon. Tampilnya Gamayel ini menguntungkan Israel.
Tapi menimbulkan kerentanan politik di Lebanon. Kelompok PLO dan milisi bersenjata Islam di Lebanon tidak menerimanya.
Israel masih berusaha menemukan para petempur PLO dibantu milisi Maronit. Tetapi situasi mulai berubah ketika kelompok Falangis tidak lagi bisa dikendalikan Israel.
Mereka menjalin persekutuan dengan Suriah yang memusuhi Israel. Bashir Gamayel perlahan menjauh dari Israel dan menolak tuntutan militer zionis.
Pada 14 September 1982, Bashir Gamayel terbunuh akibat ledakan hebat bom yang menghancurkan markas besarnya.
Israel kembali menemukan momentum. Atau mungkin mereka menciptakannya, sesuai keahlian dinas intelijen mereka.
Para pemimpin kelompok perlawanan Palestina dan milisi Islam Lebanon menyangkal terlibat. Menteri Pertahanan Israel saat itu, Ariel Sharon, menuduh orang-orang Palesina pelakunya.
Tuduhan itu memantik murka kelompok Maronit/Falangis, yang lalu atas dukungan pasukan Israel menyerbu kamp Sabra Shatila di Beirut sebagai aksi balas dendam.
Militer Israel yang mengepung sekeliling kamp-kamp, membuat para petempur Falangis leluasa masuk keluar kamp, lalu membantai penghuninya.
Laporan-laporan yang ditulis jurnalis asing, Palang Merah, dan komisi penyelidik yang dibentuk di Israel, ada keterlibatan aktif maupun pasif militer Israel.
Jumlah korban jiwa tidak ada yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Tapi angka berkisar antara 400 orang hingga 3.500 orang terbunuh.