TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Pada 16 September 1982, kelompok bersenjata Partai Falangis (Phalange) Lebanon menyerbu kamp pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila, Beirut, Lebanon.
Penyerbuan oleh milisi Kristen Maronit Lebanon ini berlangsung tiga hari, dan diperkirakan antara 2.000 hingga 3.500 warga sipil Palestina terbunuh.
Ini konflik sangat berdarah di Lebanon, yang ketika itu pasukan Israel begitu jauh terlibat dalam pertikaian antarkelompok politik di Lebanon.
Milisi Falangis dikomandoi antara lain Eli Hobeika, yang kelak jadi angota parlemen dan menteri di pemerintahan Lebanon.
Baca juga: Invasi Darat Israel ke Jalur Gaza Ditunda atau Batal?
Baca juga: Siapa Membom Rumah Sakit Al Ahli di Jalur Gaza?
Baca juga: Siapa Bisa Cegah Eksodus dari Jalur Gaza?
Sabra dan Shatila menjadi blok permukiman yang dihuni ribuan penduduk Palestina yang mengungsi ke Beirut akibat konflik di tanah air mereka dengan Israel.
Di antara para pengungsi itu bercampur anggota maupun simpatisan Palestina Liberation Organization (PLO) yang diburu pasukan Israel.
PLO dipimpin tokoh legendaris perlawanan Palestina, Yaser Arafat atau dikenal juga dengan sebutan Abu Amar.
Israel memiliki hubungan sangat baik dengan faksi-faksi Kristen Lebanon, dan menjadikan mereka proksi guna melawan kelompok petempur Palestina.
Milisi Maronit di Lebanon dilatih dan dipersenjatai, dan dijadikan Israel garda terdepan untuk mengumpulkan informasi intelijen lawannya.
Sabra adalah nama permukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949.
Bertahun kemudian penduduk kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga penyebutan Sabra dan Shatila menjadi sudah biasa
PLO ketika itu menggunakan Lebanon selatan sebagai pangkalan serangan ke Israel. Penyerbuan Sabra Shatila sesungguhnya jadi puncak rentetan konflik yang terjadi jauh sebelum hari-hari itu.
Konflik Palestina-Israel, konflik di antara kelompok politik di Lebanon, maupun gerakan perlawanan global yang dilakukan elemen-elemen lain di Palestina.
Di antaranya upaya pembunuhan Dubes Israel di London, Shlomo Argov pada 4 Juni 1982. Israel murka dan menjadikannya alasan memburu petempur PLO hingga ke Beirut.
Dua hari sesudah peristiwa itu, Israel menggempur Lebanon. Belakangan diketahui, upaya pembunuhan itu dilakukan kelompok Abu Nidal yang jadi rival PLO.
Dua bulan peperangan, dicapai gencatan senjata yang disponsori AS. PLO setuju Lebanon Selatan diawasi pasukan internasional.
Sementara Israel setuju tidak menyerang lebih jauh ke Beirut, dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang tertinggal di kamp- kamp pengungsi.
Pada 23 Agustus 1982, Bashir Gamayel, tokoh popular Maronit, terpilih menjadi Presiden Lebanon. Tampilnya Gamayel ini menguntungkan Israel.
Tapi menimbulkan kerentanan politik di Lebanon. Kelompok PLO dan milisi bersenjata Islam di Lebanon tidak menerimanya.
Israel masih berusaha menemukan para petempur PLO dibantu milisi Maronit. Tetapi situasi mulai berubah ketika kelompok Falangis tidak lagi bisa dikendalikan Israel.
Mereka menjalin persekutuan dengan Suriah yang memusuhi Israel. Bashir Gamayel perlahan menjauh dari Israel dan menolak tuntutan militer zionis.
Pada 14 September 1982, Bashir Gamayel terbunuh akibat ledakan hebat bom yang menghancurkan markas besarnya.
Israel kembali menemukan momentum. Atau mungkin mereka menciptakannya, sesuai keahlian dinas intelijen mereka.
Para pemimpin kelompok perlawanan Palestina dan milisi Islam Lebanon menyangkal terlibat. Menteri Pertahanan Israel saat itu, Ariel Sharon, menuduh orang-orang Palesina pelakunya.
Tuduhan itu memantik murka kelompok Maronit/Falangis, yang lalu atas dukungan pasukan Israel menyerbu kamp Sabra Shatila di Beirut sebagai aksi balas dendam.
Militer Israel yang mengepung sekeliling kamp-kamp, membuat para petempur Falangis leluasa masuk keluar kamp, lalu membantai penghuninya.
Laporan-laporan yang ditulis jurnalis asing, Palang Merah, dan komisi penyelidik yang dibentuk di Israel, ada keterlibatan aktif maupun pasif militer Israel.
Jumlah korban jiwa tidak ada yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Tapi angka berkisar antara 400 orang hingga 3.500 orang terbunuh.
Ada warga Lebanon, sebagian besar warga pengungsi dari Palestina. Peristiwa ini membangkitkan kemarahan global.
Pada 16 Desember 1982, Sidang Umum PBB mengutuk kematian ini dan menyatakannya sebagai suatu tindakan genosida.
Namun tidak ada tindakan apapun terhadap komandan Falangis, Elie Hobeika, maupun terhadap para pemimpin politik maupun militer Israel.
Hukum internasional terkait kejahatan perang gagal menjangkau para pelakunya. Impuniti benar-benar berlaku total dala peristiwa ini.
Namun Eli Hobeika terbunuh oleh ledakan bom di Beirut pada 2002. Ariel Sharon jadi Perdana Menteri Israel, sebelum berhenti dan sakit mati suri.
Bukti foto-foto di Sabra Shatila sangat mengerikan. Benar-benar tidak layak ditampilkan. Korban tua muda, laki perempuan, tewas dan berserakan di bagian-bagian kamp yang luas.
Peristiwa mengerikan Sabra Shatila ini menemukan konteksnya hari-hari ini ketika pasukan Israel membombardir Jalur Gaza.
Serangan yang sudah berlangsung hampir dua minggu itu menimbulkan kematian lebih dari 4.000 penduduk Gaza.
Bom-bom berledakan ada yang ke sasaran terpilih, maupun yang menimbulkan ‘collateral damage’ di tengah permukiman penduduk.
Israel berdalih mereka melakukan usaha bela diri menyusul serangan kilat kelompok Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan sekurangnya 1.400 warga Israel.
Begitu murkanya Israel, mereka telah memobilisasi ribuan mesin tempur dan ratusan prajurit cadangan ke perbatasan Gaza.
Invasi darat disiapkan sejak hari pertama serangan Hamas. Namun hingga kini tak kunjung dimulai, d Israel tampak ragu dan mulai kehilangan momentum.
Tekanan internasional agar Israel menghentikan serangan semakin kuat. Termasuk faktor Washington yang signifikan meredam Israel menggelar invasi darat ke Gaza.
Membunuhi warga sipil, membom masjid, gereja, rumah sakit, adalah bentuk-bentuk kejahatan humaniter atau hukum konflik bersenjata internasional.
Hamas dan Israel sama-sama melakukannya. Hamas hanya satu di antara kelompok perlawanan Palestina, tapi mereka menguasai Gaza.
Israel kembali melakukan genosida, dan tidak ada satupun yang mampu menjangkaunya, karena Israel disokong penuh AS dan sekutu baratnya.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)