Hamas ingin memerdekakan Palestina lewat cara non-negosiasi dan melalui pertempuran. Fatah, juga ingin memerdekakan Palestina lewat diplomasi bertahap, dan perjuangan negosiasi.
Motif itu sama dengan keinginan semua penduduk Palestina, yang ingin merdeka dan berdaulat atas tanah airnya sendiri.
Oleh karena itu perjuangan Hamas, Fatah dan berbagai kelompok lain mendapat tempat di hati rakyat Palestina. Mereka menyatu sebagai bangsa, meski berbeda-beda cara yang ditempuhnya.
Kematian 8.000 penduduk Palestina sebagai akibat pembalasan membabibuta Israel atas serangan 7 Oktober 2023, benar sebuah bencana kemanusiaan.
Tapi bagi sebuah bangsa yang ingin merdeka, mereka adalah para martir yang hanya akan memompa perlawanan dan kebencian terhadap pasukan pendudukan Israel.
Sejarah telah membuktikan dalam perang asimetris, gerakan perlawanan di berbagai tempat tidak mampu dikalahkan bahkan oleh negara adidaya yang puluhan kali lebih kuat dari Israel.
Bangsa Indonesia sebelum merdeka, juga terserak di berbagai organisasi perlawanan bersenjata. Kekuatan mereka jauh lebih lemah dibanding kolonialis.
Jalan yang ditempuh dikenal sebagai perang semesta. Perang di mana organisasi bersenjata maupun kekuatan militer terorganisasi, bahu membahu bersama rakyat sipil untuk melawan musuh.
Meski wilayah adminstrasi Otoritas Palestina, Jalur Gaza beberapa waktu terakhir dikontrol Hamas, setelah mendominasi pemilihan, dan mengalahkan kelompok Fatah.
Kemenangan Hamas di Gaza menunjukkan dukungan kuat dari penduduk Palestina di enklave tersebut. Mereka tidak bisa lagi dipisahkan dari warga sipil Palestina.
Dalam konteks inilah, jika Israel bertekad memusnahkan Hamas, ini sesuatu yang mustahil. Melemahkan mungkin bisa, tapi menghapus Hamas dari Palestina sama saja menghapus penduduk Palestina.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)