PUBLIK dikejutkan dengan maraknya penolakan kedatangan manusia perahu asal Rakhine Myanmar di bibir pantai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Dalam kurun waktu dua pekan terakhir, Aceh sudah didatangi enam gelombang pengungsi Rohingya.
Tiga kapal di wilayah Kabupaten Pidie, satu di Bireuen dan satu di Aceh Timur, dan Kota Sabang sehingga total mencapai lebih kurang 1.071 orang.
Lalu mengapa warga Aceh menolak kedatangan mereka?
Penolakan ini tidak serta merta.
Sebagaimana diketahui gelombang pengungsi Rohingya pertama masuk ke Aceh tahun 2009.
Saat itu warga menyebutnya ”manusia perahu”.
Tahun-tahun berikutnya kapal Rohingya terus berdatangan.
Sejak awal mereka diterima dengan baik karena selain persaudaraan sesama muslim, apabila pengungsi Rohingya didorong kembali ke laut, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi perlindungan kemanusiaan di Indonesia.
Akan tetapi potensi konflik mulai tumbuh dan berkembang.
Warga sesungguhnya merasa kecewa karena sejumlah alasan terutama karena seolah Pemerintah Pusat memasrahkan nasib para pengungsi tersebut pada kemampuan mereka yang sangat terbatas.
Warga merasa bekerja sendiri tanpa bantuan yang terstruktur terutama dari lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait dan Pemerintah Pusat, sementara sumber daya yang mereka miliki sangat terbatas.
Mereka menyatakan hanya mampu merespons apabila kedatangan para pengungsi ini bersifat sementara.
Apabila berlarut-larut, seharusnya membutuhkan skema penanganan yang lebih sistematis dan terstruktur baik dari Lembaga PBB terkait yaitu United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM), maupun Pemerintah Pusat.