Kita pun sempat mendapatkan pernyataan Pemerintah Kabupaten Pidie yang akan menolak kedatangan pengungsi Rohingya karena saat ini telah menampung 721 orang pengungsi, sementara tempat penampungan yang tersedia sangat terbatas.
Mereka mengkhawatirkan apabila terus dipaksakan akan menyebabkan konflik antara warga, maupun warga dan pengungsi.
Pemerintah Provinsi NAD pada kondisi serba salah karena ketiadakaan mekanisme pemberian bantuan yang baku.
Pengalokasian sumber daya daerah, dikhawatirkan berpotensi menjadi temuan terutama karena Indonesia belum menjadi negara pihak sehingga belum terdapat landasan yuridis pengalokasian sumber daya daerah.
Hal ini telah berulang kali coba dikoordinasikan oleh Penjabat Gubernur Aceh Achmad Marzuki kepada Menko Polhukam.
Sebelumnya, Ketua Komisi I DPR Aceh Bidang Hukum, Politik, Pemerintahan dan Keamanan, Iskandar Usman Al-Farlaky, menilai sikap Pemerintah Pusat dan lembaga PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) tidak jelas dalam menangani pengungsi internasional.
Ia menyesalkan penanganan Pengungsi Rohingya saat ini justru dibebankan ke masyarakat, terlebih perihal bantuan makanan.
Hal-hal lain yang dinilai cukup mengkhawatirkan adalah fakta bahwa para pengungsi ini disinyalemen terkait dengan jaringan human trafficking dan tindakan-tindakan sejumlah oknum mereka yang dinilai tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku di Tanah Rencong.
Sebagaimana diketahui, beberapa waktu lalu, Polres Aceh Timur berhasil mengungkap tindak pidana penyelundupan manusia atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Kasus tersebut menyasar korban para imigran etnis Rohingya.
Hasil pengungkapan lebih lanjut, menurut Kapolres Aceh Timur, pelaku mengaku disuruh mengangkut imigran Rohingnya dan dijanjikan upah sebesar Rp 15 juta, namun baru menerima uang muka Rp 3 juta.
Polisi telah mengamankan 36 imigran Rohingya yang selanjutnya ditempatkan sementara di Lapangan Futsal Komplek Gedung Idi Sport Center (ISC).
Kuat dugaan, mereka ‘dilarikan’ ke Medan melalui jalur tikus menuju ke Malaysia. Kondisi ini sudah seharusnya ditelusuri lebih lanjut.
Urgensi Ratifikasi Konvensi 1951?