Pertanyaannya, apakah itu bisa terjadi? Jawabnya singkat, tidak. Dari pengalaman yang ada, kita sering asyik bersitegang dan berseberangan.
Kita semua, berdiri sendiri-sendiri. Kita memandang dan melihat dengan cara kita sendiri-sendiri. Akibatnya, jalan terbaik yang kita tempuh selalu penuh liku.
Padahal Jepang dan Korsel saat membangun kompetisinya, mencontek apa yang ada di kita. Dulu, setiap BUMN memiliki klub sepakbola dan berkompetisi di jalur Galakarya. Satu contoh ini mutlak ditiru maka tak heran jika ada klub Matsushita di Jepang, dan ada Klub Hyundai di Korsel.
Sebelum mereka menggelar kompetisi JFA dan KFA, semua pihak duduk bersama. Berikrar untuk memajukan sepakbola demi negara. Maaf, tidak saling jegal seperti di kita.
Selain itu saya juga tidak melihat rancangan atau design besar yang jelas untuk menuju ke arah berdikari tadi. Metode, strategi, untuk mencapai prestasi, juga masih belum terlihat dengan jelas hingga saat ini.
Sejak saya jadi wartawan olahraga 1979 di Majalah Olympik, 1981-94 di Kompas dan BOLA, 1994-2012 di Media GO dan Harian GO Sport, saya tidak melihatnya. Kalau pun ada program khusus, belum sampai tujuan sudah bubar jalan.
Diklat Salatiga, Garuda 1-2, Primavera, dan Barretti, banyak betul yang menghajarnya. PSSI tak tahan, lalu dibubarkan.
Tidak kepalang yang 'mengeroyoknya' ya para insan dan praktisi sepakbola, serta, maaf nih, teman-teman wartawan juga. Alasannya pun beragam, intinya mereka menganggap program itu sia-sia.
Setelah ditelusuri, ternyata tidak sedikit yang 'menghajarnya' dengan basis tidak suka semata.
Padahal Diklat Salatiga, biaya ditanggung Bardosono, Ketua umum PSSI pada masa itu. Garuda, dibiayai Mas Sigit Harjojudanto, salah seorang pengurus PSSI dan pemilik klub Arseto.
Sementara Primavera dan Barretti, yang pertama di dunia dan kemudian diikuti Thailand dan Cina, tim asing bisa ikut kompetisi kelompok usia di Italia. Dan, seluruh biaya ditanggung Bang Nirwan Bakrie, juga pengurus PSSI dan pemilik klub Pelita Jaya, kini Persija.
Hasilnya? Seperti kita saksikan, semua hancur berkeping sebelum sampai tujuannya. Meski begitu, banyak pemainnya yang kemudian jadi tulang punggung tim nas. Artinya, program itu sesungguhnya sudah benar, tapi karena ada sesuatu,
tujuan utama mereka tidak tercapai.
Sekali lagi, atas nama nasionalisme yang tinggi, atas nama kemandirian, bagi yang kontra, naturalisasi haram hukumnya melakukan naturalisasi. Sekali itu juga tidak keliru.
Brasil dan Argentina sebagai negara terkemuka dalam dunia sepakbola, contohnya. Sejak dulu hingga hari ini, kedua negara itu tidak pernah memakai pemain yang bukan warga negara asli.