Kita ketahui bersama pula, sepakbola di dua negara itu, begitu luar biasa hebatnya. Brasil 5 kali juara dunia dan Argentina 3. Kehebatan kedua negara itu tak ada yang meragukan.
Mereka Aja Pakai...
Nah, bagi mereka yang pro juga sama sekali tidak salah. Mereka pun punya basis serupa, ingin membuat Indonesia bisa menggapai Piala Dunia. Maklum, sejak 19 April 1930, saat Ir. Soeratin nekad melahirkan PSSI, 15 tahun sebelum Indonesia merdeka, hingga hari ini, khususnya tim senior kita, belum sekalipun mencicipi putaran final pesta sepakbola dunia.
Jika ada orang menyebut kita pernah ikut Piala Dunia 1938 di Perancis, itu kurang tepat. Betul tuan rumah Perancis mengundang PSSI, catatan, saat itu PD tidak melalui babak penyisihan seperti saat ini. FIFA masih memberi hak penuh pada tuan rumah untuk mengundang negara mana pun sebagai peserta.
Seperti kita ketahui pula, FIFA sejak dulu menganut azas, anti penjajahan. Tetapi, jika Perancis tidak pernah mendengar sepak-terjang PSSI, maka tidak mungkin mereka mau mengundangnya. Dan FIFA menyetujuinya karena mereka ingin mendukung agar penjajahan dihapuskan di Nusantara.
Sayang, syarat yang diajukan Gubernur Jendral Hindia Belanda, Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-42), tidak bisa diterima Soeratin. Mereka diwajibkan menggunakan nama Hindia-Belanda, dan lambang kerajaan Belanda wajib dipakai.
Soeratin menolak. Meski Indonesia belum lahir, tapi Merah-Putih dan Lambang Garuda sudah dipakai oleh PSSI. Soeratin lalu memberi sinyal agar para pemain atas nama bonden (Asprop, saat ini) dan pribadi mengambil kesempatan emas itu.
Maka, tujuh pemain kita: Tan Mo Heng, Achmad Nawir, Anwar Sutan, Tan Jong Djien, Isaac Pattiwael, Soedarmadji, dan Hans Taihuttu, ikut dalam tim yang berbalut Hindia-Belanda. Jadi, yang tampil di Paris saat itu adalah Hindia-Belanda bukan Indonesia.
Sementara untuk tim yunior dan Under 17, sejak 1979 sudah ikut berpartisipasi. Kita maju ke Jepang untuk menggantikan Irak dan Korut yang karena alasan politik mundur.
Dan tim U17, kita tampil karena kita jadi tuan rumah setelah Peru dicoret FIFA. Awalnya, kita tuan rumah U20, karena persoalan Israel, hak kita dicabut FIFA.
JALAN PINTAS
Karena upaya yang terus-menerus gagal, Shin Tae-yong, diberi sinyal untuk melakukan jalan, naturalisasi. Program ini sebenarnya sudah dimulai sejak Januari 2009, jauh sebelum STY datang ke sini.
Saya, Yesayas Oktovianus (Kompas), Reva Deddy Utama (antv), dan Toro alias Erwiantoro ( freelence), diberi kepercayaan untuk membuka wacana itu. Kami ke Belanda dan mendapati puluhan pemain yang separuh Indonesia, siap membela tim nas.
Tentu ini jalan pintas dan kami pun bersyarat dan disetujui PSSI, yang bisa direkrut adalah mereka yang punya darah Indonesia dari mana pun itu.
Tapi, sayang PSSI berubah pikiran. Entah siapa yang membisikan NH, naturalisasi yang terjadi justru pemain-pemain asing sudah merumput di Liga kita dan tidak dalam usia emas. Hasilnya ya seperti kita lihat saat ini. Konon, 'ada bisnis kecil-kecilan di situ.'
Jadi, untuk mereka yang pro, selain dasarnya juga jelas, mereka punya memiliki contph yang tidak kepalang. Selain sukses di Piala Dunia dan Eropa, sepakbola di negara mereka sangat maju.