Saya melihat ada indikasi ketidakwajaran dalam hal besarnya volume impor beras pada tahun 2023.
Pada tahun 2020 lalu, saya selaku Ketua Banggar sudah mengusulkan kepada pemerintah agar mengubah skema impor. Saya meminta pemerintah mengubah skema impor komoditas dari sistem kuota menjadi impor dengan model pengenaan tarif.
Pasalnya, kebijakan impor dengan sistem kuota syarat dengan upaya memburu rente para pejabat.
Bahkan Ombudsman telah menemukan beberapa waktu lalu perbedaan antara dokumen kuota impor bawang dengan realisasi yang lebih besar dari dokumen.
Rekomendasi ijin impornya sebesar 560 ratus ribu ton di ratas kemenko perekonomian, tetapi rekomendasi di kementan mencapai 1,2 juta ton.
Saya pastikan dengan model impor pengenaan tarif, negara lebih banyak untungnya, dan model perburuan rente pada kegiatan impor bisa lebih dikurangi.
Debat capres dan cawapres adalah ajang untuk menunjukkan kualitas kepemimpinan nasional, bukan dari sisi kemampuan pengetahuan semata, tetapi juga sarana rakyat mengetahui kualitas kejujuran, dan kepemimpinan.
Jadi sebaiknya calon pemimpin harus berani mengungkapkan data yang jujur.
Apalagi urusan beras ini menyangkut hajat hidup orang banyak, nasib jutaan petani, bahkan nasib mayoritas rakyat Indonesia, karena menjadikan beras sebagai makanan pokok.
Bahkan bagi keluarga miskin, beras menjadi sandaran hidup mati mereka. Itulah sebabnya Banggar DPR dan pemerintah sejak awal menyepakati negara harus menjamin pangan rakyat, khususnya beras karena memiliki pengaruh besar atas tingkat kemiskinan mereka dalam bertahan hidup.
Oleh sebab itu, urusan beras data dan kebijakannya jangan dijadikan komoditas politik elektoral, apalagi jika disampaikan dengan tidak jujur, tentu hal itu tidak baik.
Bagi pemimpin, berani jujur itu bukan kehebatan, tetapi keharusan, sebab kata kata dan perbuatannya berpengaruh luas kepada rakyat.