Oleh Hasanuddin
Alumni Program Pasca Sarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia
TRIBUNNEWS.COM - Kenapa Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan itu semua tindak tanduknya harus diatur sedemikian rupa melalui suatu sistem keprotokoleran yang ketat, tiada lain karena seorang Presiden itu harus tetap didalam sistem yang dipandu dengan nilai-nilai etik. Sehingga dengan demikian diharapkan perilakunya dapat menjadi cermin dan teladan bagi seluruh warga Bangsa.
Adalah kewajiban dari seorang Presiden untuk menjalankan Konstitusi dan seluruh Undang-undang serta peraturan yang menjadi turunannya. Kesengajaan mengabaikan norma-norma yang terdapat diatur dalam Konstitusi, karena itu merupakan pelanggaran bagi seorang Presiden.
Bahkan bukan hanya menjalankan norma Konstitusi, tapi juga diberi amanah dan tanggungjawab untuk menjaga Konstitusi itu agar tidak terjadi penyimpangan. Dalam konteks ini, maka; jika seorang Presiden melihat adanya suatu Undang-undang yang tidak bersesuaian dengan Konstitusi, maka ia mesti memihak dan atau memedomani Konstitusi, serta mengambil langkah-langkah agar UU atau peraturan yang tidak bersesuaian dengan Konstitusi itu, diperbaiki. Dalam konteks inilah seorang Presiden itu diberi kewenangan mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (PERPPU). Kewenangan itu diberikan dalam rangka menjaga, mengamankan Konstitusi agar tidak terjadi penyimpangan.
Setiap Kepala Negara, termasuk Jokowi yang saat ini menjabat harus memahami tanggungjawab menjaga Konstitusi itu.
Kesadaran berkonstitusi dengan demikian mesti dipahami sebagai kesadaran etik, yang tingkatannya lebih tinggi daripada sekedar kesadaran politik kekuasaan.
Akhir-akhir ini jagad politik nasional terasa kian memanas. Kontestasi PEMILU dan Pilpres yang semestinya dapat "dinikmati" oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai sebuah "pesta" demokrasi cenderung telah berganti menjadi arena pertempuran sesama anak bangsa.
Kecenderungan demikian dipicu terutama oleh prilaku politik Jokowi yang tidak beradab, tidak menjunjung etika politik, abai terhadap norma-norma Konstitusi.
Berbagai pihak telah menyampaikan pandangan dan penilaian perihal prilaku amoral dari Jokowi ini. Baik disampaikan secara berkelompok seperti kalangan Mahasiswa, Buruh, kelompok profesi, tokoh-tokoh pergerakan seperti yang tergabung dalam Petisi 100. Juga telah banyak dikemukakan secara perorangan oleh para cerdik pandai, dari kalangan akademisi dari berbagai perguruan tinggi, para alim ulama, hingga para tokoh Bangsa. Pandangan mereka beragam, namun substansinya sama, Jokowi di nilai telah melakukan pembajakan terhadap demokrasi, serta melawan Konstitusi.
Bahkan tidak sedikit yang telah menyuarakan agar Jokowi segera dimakzulkan.
Situasi terbaru menunjukkan ekskalasi peningkatan tingkat persepsi negatif terhadap Jokowi kian meluas. Pernyataan Jokowi bahwa Presiden dan para Menteri boleh memihak dan berkampanye bagi pasangan calon Presiden tertentu menuai reaksi berbagai kalangan.
Semua pihak memahami bahwa pernyataan Jokowi itu adalah bentuk dukungan kepada pasangan calon Presiden Prabowo-Gibran. Bukan saja karena pernyataan politik itu disampaikan bersama Prabowo yang berdiri disampingnya, namun juga karena Gibran (anaknya) berpasangan dengan Prabowo.
Tim Ganjar-Mahfud diwakili oleh Todung Mulya Lubis dan Andi Widjayanto menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Jokowi itu, telah melabrak berbagai pasal dan ketentuan yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945, terutama pada tugas dan tanggung jawab seorang Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang semestinya mengayomi dan atau berdiri di atas semua golongan, menjalankan pemerintahan secara jujur dan adil.
Respons yang senada disampaikan oleh Hamdan Zoelva dari Timnas Anies-Muhaimin (AMIN).