Kedua, penguasaan Avdeevka akan membuat pasukan Rusia jauh lebih mudah maju ke barat, mendorong pasukan Kiev mundur semakin menjauhi Donbass.
Ini akan semakin membuat jarak ke wilayah Donetsk semakin jauh, dan penduduk sipil di wilayah itu juga semakin aman di bawah perlindungan Federasi Rusia.
Bagi Ukraina, kekalahan di Avdeevka menjadi pukulan serius dan memalukan sekalipun Zelensky sudah mengganti panglima militer Ukraina, Jenderal Valey Zalushny.
Konflik Zelensky dan Zalushny selama berbulan-bulan terakhir menunjukkan perpecahan serius antara pemerintah dan militer.
Zelensky ngotot ingin pasukan Ukraina bertahan habis-habisan dari gempuran Rusia, diawali di Bakhmut.
Ia bahkan meminta pasukannya maju meter demi meter, guna membalikkan keadaan sejak serangan balik musim semi lalu.
Namun Zalushny bersikap realistis dengan situasi di lapangan, sikap kontradiktif dengan Zelensky, yang kemudian jadi pangka konflik keduanya.
Zalushny melihat merosotnya dukungan logistik ke garis depan, menjadikan tentara Ukraina seperti masuk ke penggilingan daging.
Korban berjatuhan demikian banyaknya, dan hasilnya meter demi meter wilayah yang dikuasai pasukan Ukraina semakin berkurang.
Kemenangan menjauh, dan Ukraina harus menghadapi kenyataan pasukan Rusia mendapatkan keunggulan demi keunggulan strategisnya.
Kekalahan Ukraina di berbagai front timur ini juga menjadikan dukungan barat nyaris tak ada artinya, kecuali memperpanjang konflik dan menimbulkan korban jiwa semakin banyak.
Presiden Putin dalam wawancara dengan Tucker Carlson menjelaskan ke audiens barat, tujuan operasi militer Rusia ke Ukraina tidak seperti yang diyakini AS dan NATO.
Rusia tidak bermaksud menguasai kembali Ukraina sepenuhnya, tapi mencegah Ukraina jadi halaman depan NATO yang bisa secara langsung mengancam keamanan Rusia.
Rusia juga tidak punya agenda menyerang Eropa, seperti narasi yang selama ini dipropagandakan negara-negara NATO.
Moskow hanya concern pada agresivitas dan bagaimana mengatasi persekusi yang dilakukan elemen-elemen neo-Nazi di Ukraina terhadap masyarakat penutur Rusia di Donbass.
Sebaliknya,, NATO secara faktual telah melanggar komitmennya untuk tidak ekspansi ke Eropa timur sesudah runtuhnya Uni Soviet.
Dalam konteks geopolitik Eropa, langkah NATO masuk sangat dalam ke Ukraina adalah langkah awal destabilisasi Rusia, dan Putin ingin mencegah hal itu terjadi.
Rusia hanya ingin Ukraina menjadi negara netral di Eropa, mengatasi eksisnya kelompok-kelompok neo-Nazi, dan hidup bertetangga dengan Rusia dan terutama wilayah Donbass.
Jika Ukraina mau menerima syarat-syarat ini, perang akan cepat berakhir. Masalahnya, Ukraina kini tak bisa lagi mengambil keputusan secara mandiri.
Semua tergantung AS yang menjadikan NATO sebagai alat politik hegemoni mereka di Eropa.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)