Posisi mereka di Yaman sangat menguntungkan. Mereka bisa meluncurkan rudal jelajah, rudal balistik, kapal tempur, dan drone ke target-target di Selat Hormuz yang sempit.
AS dan Inggris secara bersamaan menggempur apa yang mereka sebut basis-basis militer Houthi Yaman di berbagai lokasi.
Tapi usaha itu nyaris mubazir. Kelompok Ansarallah Houthi tetap tak terkalahkan. Ini membuat semua cara militer AS dan sekutunya ke Yaman tidak efektif.
Sebaliknya, rasa frustasi mulai menjangkit semua level militer AS di lapangan, yang merasa tengah bertarung bukan untuk kepentingan mereka.
Dalam posisi jauh di luar negaranya, semua armada militer AS di lautan Timur Tengah punya sumber persenjataa yang terbatas.
Rudal-rudal pencegat Angkatan Laut AS tidak tidak dapat diisi ulang di laut. Situasi ini menyebabkan dalam jangka panjang akan menghancurkan moral para prajurit.
Ungkapan terbuka pernah disampaikan Kapten Chris Hill, Komandan kapal induk USS Eisenhower. Ia mengatakan, "Orang-orang (prajurit) butuh istirahat, mereka harus pulang."
Apa yang mereka hadapi setiap hari adalah ancaman drone dan rudal Ansharullah Houthi, yang seolah tidak ada habisnya.
Di sisi lain, para elite di Washington meyakini dengan riang kekuatan mereka akan mengalahkan Houthi yang sangat menyebalkan.
Hal ini bisa dibilang merupakan langkah yang dikalibrasi dengan baik dan didukung oleh Iran yang mencapai dua tujuan.
Pertama, mengeluarkan kelompok tempur kapal induk dari Teluk Persia, dan kedua, menyeret AS ke dalam perangkap yang semakin meningkat.
Mereka saat ini ada di dalam kuali yang airnya semakin mendidih, dan tidak menyadari mereka tidak akan pernah bisa menang.
Langkah terakhir adalah ketika kesadaran muncul, tapi sudah terlambat. Mereka akan melompat keluar dari kuali dan melarikan diri dengan rasa malu.
Ini seperti yang terjadi pada 2021 di Afghanistan, ketika pasukan AS terbirit-birit kabur dari Pangkalan Bagram saat Taliban mengambil alih kekuasaan.