TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Sekalipun Israel menahan diri atas tekanan Gedung Putih untuk tidak langsung membalas Iran, potensi provokasi perang kawasan oleh Israel tetap terbuka.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel (IDF) Letjen Herzy Halevi menyatakan balasan yang jelas dan tegas akan dilakukan.
Kapan waktunya, tidak ada penjelasan. Israel mungkin akan melakukan sampai di titik ketika operasi itu bisa diterima penyokong utama Israel di Washington.
Halevi sebagai pemimpin tertinggi militer Israel mengecilkan dampak serangan masif Iran. Ia mengakui ada pangkalan militernya terkena, namun Halevi menyebut kerusakannya minor.
Sejauh ini hingga Selasa (16/4/2024) pagi WIB, konflik Iran-Israel berpindah ke ruang-ruang retorika di publik maupun di markas PBB di New York.
Baca juga: Pesan Iran Jelas, Setiap Jengkal Israel Kini Bisa Dijangkau Rudal Mereka
Baca juga: Apa yang Kita Ketahui saat Iran Gempur Langsung Israel
Namun isu Israel akan membalas serbuan Iran itu menguat di media sosial. Iran juga dikabarkan menyiagakan pasukan pertahanan udara dan pasukan rudalnya.
Tapi lebih dari itu, apa yang terjadi memperlihatkan kemenangan strategis Iran. Bukan soal dampak kerusakan, tapi politis psikologis Iran membuktikan benar-benar bisa jadi lawan sepadan Israel.
Iran menjadi satu-satunya negara di Timur Tengah, selain kelompok Hamas Palestina dan Hizbullah Lebanon yang mampu menggempur langsung negara Israel.
Serangan strategis yang memperlihatkan keunggulan daan presisinya kekuatan rudal serta drone kamikaze Iran.
Dalam konteks militer, serangan jarak jauh ini bukan main levelnya. Tidak banyak kekuatan di dunia mampu melakukannya secara baik.
Lantas pertanyaannya, benarkah Iran mampu menggunakan sistem buatannya sendiri untuk melakukan pekerjaan yang biasanya hanya mampu ditunjukkan AS, Rusia, China, dan Israel ini?
Pernyataan Wakil Menlu Rusia Sergey Ryabkov memberi sinyal penting. China dan Rusia punya kontribusi signifikan atas sukses Iran menggempur Israel.
Dengan begitu, apa yang menimpa Israel sesungguhnya gambaran riil pertemuan dua kekuatan raksasa dunia di teknologi militer.
AS dan Eropa di satu sisi, China dan Rusia di sisi lain.