News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rencana Jahat AS Kuasai Cadangan Raksasa Minyak Venezuela

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahasiswa, pemuda dari berbagai lingkungan dan pendukung pemerintah Presiden Venezuela Nicolas Maduro berbaris pada Hari Pemuda di Caracas, pada 12 Februari 2022. (Photo by Yuri CORTEZ / AFP)

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Sejenak beralih dari topik konflik Timur Tengah dan Ukraina-Rusia, satu spot panas konflik yang kerap terlupakan adalah Venezuela.

Negara Amerika Selatan ini dikenal berhaluan sosialis sejak era Presiden Hugo Chavez. Beberapa kali Chavez hendak didepak dari kekuasaan oleh tangan-tangan CIA.

Hugo Chaves meninggal karena penyakit yang diduga kuat tidak wajar. Seperti halnya Yasser Arafat, pemimpin Palestina yang wafat akibat racun yang ditanam sejak lama.

Peracunan adalah ketrampilan yang wajib dikuasai agen-agen lapangan dinas rahasia sejak lama. Ini satu di antara metode eliminasi target yang biasa dilakukan secara senyap.

Indonesia punya satu kasus fenomenal, peracunan Munir, tokoh Kontras, oleh Polycarpus Budihari, seorang pilot maskapai Garuda Indonesia.  

Polycarpus ini di pengadilan terbukti sebagai pelaku, yang menjalankan misi tertentu untu melenyapkan Munir.

Dalang dari peracunan Munir ini tidak terungkap sampai sekarang. Seorang jenderal yang pernah bekerja di BIN, pernah ditangkap, tapi ia divonis tak bersalah pada 2008.

Baca juga: Rakyat Venezuela Mendukung Perlawanan Palestina, Sebut Zionisme Musuh Bersama

Baca juga: Izinkan Ekspor Minyak ke Chevron, AS Tetap Terapkan Sanksi Venezuela  

Baca juga: Pasukan Khusus Kolombia Masuk Venezuela, Tewaskan Eks Pemimpin FARC

Setelah Chavez meninggal, kepemimpinan Venezuela dilanjutkan Pedro Carmona, sebelum berpindah ke Nicolas Maduro.

Kedua tokoh ini juga berhaluan sosialis, penerus Chavez. Maduro saat ini memimpin Venezuela, sebuah negara super kaya minyak bumi.

Data global menunjukkan Venezuela memiliki Cadangan minyak terbesar di dunia, yaitu sebesar 300 miliar barel (4,8×1010 m3) per 1 Januari 2014.

Tinjauan Statistik BP Energi Dunia edisi 2019 melaporkan total cadangan minyak Venezuela adalah 303,3 miliar barel. Angka ini sedikit di atas Arab Saudi sebesar 297,7 miliar barel.

Namun minyak mentah Venezuela memiliki karakteristik berbeda. Berat jenis lebih berat dari standar minyak mentah lain, sehingga pemrosesannya lewat kilang khusus.

Inilah pangkal masalah, sebab musabab, dan pemantik dari berbagai usaha Washington mengguncang Venezuela.

Destabilisasi Venezuela dilakukan dari dalam maupun luar negeri. Paling dahsyat adalah ketika intelijen AS dan Kolombia bersekongkol menyelundupkan regu pembunuh ke Venezuela.

Regu pembunuh yang mengincar Maduro itu terdiri anggota kelompok tentara bayaran eks Green Berret AS, para petualang Kolombia dan oposisi Venezuela.

Operasi itu bisa digagalkan di perbatasan Kolombia-Venezuela. Operasi lintas batas itu jadi ledakan di tengah guncangan politik Venezuela saat oposisi mengklaim diri sebagai pemerintah yang sah.

Kelompok oposisi ini menerima dukungan kuat Washington, sejumlah anggota Uni Eropa, serta beberapa rezim pro-AS di sekitar Venezuela.

Hingga hari ini, Nicolas Maduro masih bertahan dengan politik populisnya, mempertahankan minyak Venezuela dari upaya penjarahan AS dan sekutunya.

Caracas bersahabat kuat dengan Rusia, Iran, dan China, tiga kekuatan baru yang jadi penyeimbang hegemoni AS dan barat.

Bahkan di tengah embargo dan aneka sanksi yang diterimanya, Iran mengirimkan kapal-kapal tanker minyaknya, memasok Venezuela yang kesulitan mengolah kekayaannya sendiri.

Sanksi dan blokade AS membuat Venezuela tidak mampu mengelola kilang minyaknya secara mandiri, karena keterbatasan peralatan dan suku cadang.

Ekonomi Venezuela merosot ke titik sangat rendah akibat embargo Washington. Nilai mata uang Bolivar terjungkir sampai nyaris tidak ada harganya akibat inflasi parah.

Tapi Nicholas Maduro dan Venezuela tetap bertahan, Kelompok oposisi yang didukung AS dan barat gagal mencapai tujuan mendongkel kelompok sayap kiri.

Lantas apa upaya terbaru AS, yang rupanya tetap mengincar Venezuela di tengah krisis minyak dunia akibat konflik di Timur Tengah dan Ukraina?

AS memang tidak terlampau terdampak oleh krisis minyak, seperti yang dialami negara dunia ketiga dan Eropa.

AS masih bisa mendapatkan minyak dari sumur-sumur di Irak dan Qatar. Termasuk sumur-sumur minyak di Suriah utara yang disedotnya secara ilegal.

Enam bulan lalu, tingginya harga minyak di Amerika di tengah sanksi barat terhadap minyak dan gas Rusia membuat pemerintahan Biden berebut mendapatkan lebih banyak pasokan.

Kekuasaan supernya bisa mengatur dari mana pasokan minyak itu datang. Bahkan ia bisa mengambil untung dengan menjualnya kembali ke negara-negara Eropa.

Unjuk rasa yang kembali menjadi kerusuhan terjadi di Maracaibo pada hari Minggu (18/12/2016) waktu setempat. Pengunjuk rasa menentang rencana Presiden Maduro menarik pecahan mata uang 100 Bolivar dan menggantinya dengan pecahan yang lebih besar. (Capture Youtube)

Washington memang tidak bisa mempengaruhi Rusia dan OPEC yang dipimpin Saudi. Tapi mereka bisa menambah atau mengurangi pasokan untuk mengurangi dampak politik domestiknya.

Gedung Putih mempertimbangkan kemungkinan yang bisa mereka ambil. Di sinilah Venezuela menemukan konteksnya.

Washington menawarkan kesepakatan baru dengan Venezuela untuk meringankan beban Amerika soal stok mninyak.

AS juga berusaha meredam Venezuela yang semakin mesra dengan Tiongkok dan Rusia di halaman belakang Washington.

Gedung Putih juga ingin memitigasi mengalirnya migran dari Venezuela ke AS sebagai akibat dari banyaknya warga negara tersebut ingin keluar dari kesulitan ekonomi.

Jadi Washington beralih ke Presiden Venezuela yang sama, Nicolas Maduro. Orang yang tempo hari dilabel sebagai tokoh utama narkoterorisme.

Maduro adalah orang yang sama yang didelegitimasi oleh AS selama bertahun-tahun. Washington mempromosikan Juan Guaido, tokoh oposisi Venezuela sebagai Presiden Venezuela yang sah.

Nicolas Maduro juga dibanderol $15 juta kepada siapa saja yang bisa memberikan jalan untuk menangkap dan menghukum tokoh ini.

Pembalikan sikap drastic ini sangat khas Washington. Mereka berpikir pragamatis belaka. Sepanjang menguntungkan, sebrutal apapun rekam jejak musuh akan dijadikan teman.

Langkah kooperatif Washington dimulai November 2022 saat raksasa migas Chevron, mendapatkan izin untuk memompa kembali minyak Venezuela.

Ini terjadi selang sebulan setelah pengabaian sanksi atas Venezuela. AS berjanji membuka blokir sebagian dana penjualan minyak Caracas yang disita pemerintah AS.

Imbal baliknya, AS mengizinkan raksasa minyak negara Venezuela, Petroleos de Venezuela (PDVSA) mengekspor minyaknya hanya ke pasar AS.

Pembayaran dilakukan anak perusahaan PDVSA di Amerika, Citgo, yang sebelumnya menyita miliaran pendapatan minyak Venezuela yang ada di bank AS.

Sebagian dari dana yang disita itu telah digunakan untuk mensponsori gerakan Juan Guaido, boneka politik model pergantian rezim ala Washington.

Proyek gagal itu menyadarkan AS ketika perang Rusia-Ukraina dimulai. Sementara Maduro memegang kendali Venezuela saat pasar minyak global terguncang.

Pada akhirnya Gedung Putih menggadaikan prestise, gengsi, dan kebanggaan tersisa dan membiarkan Venezuela mendapatkan sebagian dari minyaknya.

Bulan lalu, Chevron mengumumkan rencana pengeboran sumur baru untuk Venezuela melalui usaha patungan dengan PDVSA.

Mereka ingin menggenjot produksi minyak sebesar 35 persen disbanding saat ini. Sebulan sebelumnya, Chevron menggencarkan pengeboran kembali di Sabuk Orinoco.

Enam bulan berlalu, batas keringanan sanksi untuk Venezuela berakhir. Tapi AS membiarkan Chevron tetap beroperasi di Venezuela, dan kelanjutan eksplorasi minyak akan tergantung kasus per kasus.

Hal ini terdengar seperti cara yang mudah bagi Washington untuk mempertahankan pasarnya sendiri, atau setidaknya memutuskan siapa yang mendapat akses.

Semua orang takut dengan sanksi alas Washington. Menggunakan sanksi sebagai instrumen untuk mengendalikan persaingan global bukanlah hal baru bagi AS.

Tapi hal ini semakin sulit dilakukan di tengah semakin banyaknya pilihan yang ada karena seluruh dunia melakukan diversifikasi dari tatanan global yang selama ini didominasi barat.

Dunia bergerak multipolar, seiring kehadiran blok baru BRICS. Politik hegemonik ala AS semakin tidak popular, seperti terjadi di benua Afrika.

Pada Februari 2020, Kantor Pengendalian Aset Luar Negeri (OFAC) Departemen Keuangan AS memberikan sanksi kepada perusahaan minyak milik negara Rusia, Rosneft.

Alasannya, perusahaan tersebut dianggap jadi perantara penjualan dan pengangkutan minyak mentah Venezuela.

Ini adalah cara kerja untuk menyingkirkan pesaing. Tuduhan tetap sama, diarahkan ke Nicolas Maduro pemimpin yang dipilih rakyat Venezuela lewat Pemilu.

“Amerika Serikat bertekad mencegah penjarahan aset minyak Venezuela oleh rezim Maduro yang korup,” kata Menteri Keuangan Steven Mnuchin saat AS memulai sanksinya ke Venezuela.

Padahal AS justru benar-benar sedang menjarah aset minyak Venezuela, dan menahan keuntungannya lewat penyitaan aset.

Jadi, apa yang dilakukan Maduro hingga memberi Washington alasan untuk kembali menerapkan sanksi?

Tampaknya hal ini ada hubungannya dengan diskualifikasi kandidat oposisi Maria Corina Machado dari pemilihan presiden yang ditetapkan pada Juli 2024.

Machado didiskualifikasi Mahkamah Agung selama 15 tahun, atas tuduhan keterlibatannya dalam “rencana korupsi yang dilancarkan Juan Guaido.

Ia juga dituduh terlibat upaya perampasan perusahaan-perusahaan dan kekayaan rakyat Venezuela di luar negeri.

Machado pernah menyatakan ucapan terima kasih ke Israel atas campur tangan dalam urusan Venezuela dengan mengakui Juan Guaido sebagai presiden sementara Venezuela.

Masih ada beberapa tuduhan lain, yang semuanya tersangkutpaut dengan aktivitas mendeligitimasi pemerintahan Maduro dan peran pemerintah asing.

Seperti kebiasaannya, Washington selalu merasa berkepentingan atas kekuasaan di negara lain. Karena itu ia seperti berhak ikut mengatur Pemilu.  

Di Venezuela, jelas AS amat sangat berkeinginan menguasai minyak Venezuela, mengingat krisis di Timur Tengah dan Ukraina.

Meski begitu, Nicolas Maduro tetap memainkan politik keseimbangan saat ia mengungkapkan rencana untuk merebut sebuah wilayah di Guyana Essequibo.

Ini wilayah yang sejak lama jadi objek sengketa Venezuela dan Guyana bekas jajahan Inggris.

Spot ini dikenal sangat kaya minyak. Maduro menuduh AS telah mendirikan pangkalan militer rahasia dan pos CIA di wilayah Guyana Essequibo ini.

Daerah kaya minyak dan mineral ini memiliki luas 62.000 mil persegi di sekitar Sungai Essequibo.

Menurut Maduro, Langkah AS ini memperlihatkan bentuk “agresi” terhadap rakyat Venezuela bagian selatan dan timur.

Pangkalan itu juga dibangun untuk mempersiapkan eskalasi konflik terhadap Venezuela.

Komando Selatan AS telah memiliki Kantor Kerja Sama Keamanan di Guyana, dan berfungsi sebagai konsultan militer untuk Angkatan Pertahanan Guyana (eks Inggris).

Setelah referendum nasional pada awal Desember 2023, Caracas mengklaim Guayana Esequiba – wilayah yang sebagian besar berhutan telah dimilikinya selama lebih dari satu abad.

Guyana telah melakukan protes, dengan menyatakan wilayah tersebut mencakup dua pertiga wilayahnya yang diakui secara internasional, dan telah meminta bantuan komunitas internasional.

Perselisihan mengenai wilayah Essequibo meningkat pada 2015 setelah raksasa energi yang berbasis di AS, ExxonMobil, menemukan cadangan minyak di sana.

Setelah referendum Desember, pasukan AS mengadakan latihan militer gabungan AS-Guyana. Angkatan Laut Kerajaan Inggris mengerahkan kapal patroli HMS Trent ke Guyana pada Januari 2024.

Menurut Maduro, wilayah yang disengketakan dikendalikan Komando Selatan, CIA, dan ExxonMobil, yang berupaya merebut sumber daya Venezuela.

Inilah ‘hot spot’ konflik di Amerika Selatan, yang memiliki peluang besar meledak jadi pertikaian berskala regional.

Minyak jadi sumber perebutan kekuasaan, sama halnya yang terjadi di Irak, Suriah, Libya, Iran, negara-negara yang rezimnya dianggap tak bisa diatur Washington.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini