Namun negosiasi di putaran Istanbul, Turki, wakil Ukraina menarik diri sepenuhnya setelah PM Inggris Boris Johnson mendesak Kiev agar menghentikan perundingan dengan Moskow.
Sejak itu penyelesaian diplomatik tidak berlanjut. Presiden Ukraina Volodymir Zelensky menolak semua opsi perundingan dengan Rusia.
Rusia di putaran negosiasi siap menghentikan perang jika Ukraina menyetujui sejumlah syarat yang diminta Moskow.
Antara lain, Ukraina harus jadi negara netral di Uni Eropa dan NATO. Kedua, Kiev harus mengakui hasil referendum Donbas yang bergabung ke Federasi Rusia.
Syarat ini ditolak Ukraina. Kiev mengajukan penghentian konflik tanpa syarat oleh Rusia. Pasukan Rusia harus keluar dari wilayah seperti sebelum 22 Februari 2022.
Terhentinya negosiasi ini menjadikan perang di Ukraina berlanjut sangat sengit. Pasukan Rusia terus maju jauh, memakan wilayah demi wilayah Ukraina, tak hanya meliputi Donbas.
Wilayah Donbas terdiri Republik Luhanks dan Donetsk, yang mayoritas penduduknya berbahasa Rusia dan lebih dekat ke kultur Rusia.
Kedua wilayah ini sejak 2014, ketika terjadi Revolusi Maidan, menolak bersepakat dengan agenda Kiev yang didukung Uni Eropa dan NATO.
Pasukan Ukraina yang didukung elemen-elemen paramiliter neo-Nazi sejak itu membombardir wilayah Luhanks dan Donetsk di bagian timur Ukraina.
Berlanjutnya peperangan di Ukraina realitasnya memang menunjukkan agenda barat, untuk terus menekan Rusia.
Fakta-fakta ini sulit dibantah, mengingat betapa agresifnya kekuatan NATO yang dipimpin AS, untuk mengontrol sepenuhnya pemerintah di Kiev.
Sejak runtuhnya Uni Soviet dan bubarnya Pakta Warsawa, NATO menjadi kekuatan tunggal aliansi militer AS dan Eropa yang dipisahkan samudera Atlantik.
Satu hal yang jadi komitmen sesudah glasnot dan perestroika membubarkan Uni Soviet, NATO tidak punya agenda memperluas wilayahnya ke Eropa Timur.
Namun agenda itu berubah, setelah Vladimir Putin berhasil memulihkan kemampuan dan kekuatan Rusia, dan jadi kekuatan besar ketiga di dunia setelah AS dan China.